Kesan terindah sering kali muncul dari setiap perjalanan yang telah dilalui. Tak hanya kesan tentang perjalanan karier, tapi juga saat berpetualang melintasi sebuah wilayah, benua, atau daerah pedalaman. Kesan seperti ini saya rasakan saat berkunjung ke suatu wilayah di provinsi Sulawesi Barat, tepatnya di Kabupaten Mamasa, pada 6 November 2023 lalu.
Perjalanan menuju Mamasa membutuhkan kehati-hatian. Selain menanjak dan berliku, medannya juga mengharuskan untuk menyusuri lereng gunung yang curam. Pengendara mobil dan motor yang melintas sesekali harus memperlambat laju kendaraan, sebab sebagian jalan berlubang dan berkelok. Belum lagi tumpukan sisa-sisa tanah longsor bercampur batu besar dan pohon tumbang yang menutupi bahu jalan.
Di beberapa titik tampak police line melintang, menandakan bahwa jalan tersebut adalah tepi jurang yang rawan longsor. Sepanjang perjalanan, mata disuguhi pemandangan alam yang indah. Dari atas ketinggian, tampak jelas pemukiman warga, hamparan sawah dan ladang yang menghijau, serta gunung-gunung berselimut kabut.
Perjalanan dari Kota Makassar menuju Kabupaten Mamasa saya tempuh kurang lebih 11 jam. Saya tiba saat matahari pagi bersinar terang di sela-sela gunung. Boleh dibilang, kedatangan saya kali ini terlambat, sebab normalnya perjalanan dari Makassar ke Mamasa kurang lebih 8 jam dengan jarak tempuh 333 KM.
Di samping menggunakan angkutan umum, kondisi jalan yang rusak juga memperlambat waktu tempuh. Kurang lebih 3 jam lamanya mobil yang saya tumpangi mengelilingi kota Makassar menjemput penumpang dan barang kiriman, lalu bertolak ke Mamasa. Untung saja penumpang saat itu hanya dua orang, saya dan Arma, salah seorang pegawai Dinas Kehutanan Mamasa.
Malam itu, mobil yang saya tumpangi melaju kurang lebih 70 hingga 80 KM per jam menuju barat pulau Sulawesi. Berbeda saat mobil berbelok ke jalan poros Mamasa, kecepatan mobil kisaran 10 hingga 30 KM per jam. Sebagai pengidap asam lambung, tentu saja saya merasa nyaman dengan laju kendaraan seperti ini. Belum lagi sepanjang perjalanan kami mengobrol soal kondisi sosial masyarakat Mamasa, mulai dari tradisi, adat istiadat, kearifan lokal, hingga ajaran Mappurondo, agama lokal yang hingga saat ini masih eksis di beberapa wilayah tersebut.
Arma memaparkan, Mappurondo atau Aluk Todolo adalah agama lokal yang sudah ada di Mamasa jauh sebelum Kristen datang di wilayah tersebut. Aluk Todolo adalah kepercayaan leluhur yang praktik ritualnya sangat dekat dengan alam.
“Mereka sangat peduli dengan kondisi lingkungan atau alam, sebab alam adalah sarana ritual mereka,” kata Arma.
Sementara itu, dalam praktik kehidupan keseharian, penganut kepercayaan Aluk Todolo sangat mengedepankan kejujuran. Dalam hal jual beli misalnya, hasil bumi mereka disimpan di pinggir jalan, tanpa harus menunggu dan menjaganya. Cukup dengan modal kepercayaan, mereka meletakkan hasil bumi seperti sayur dan buah lengkap dengan harganya.
Sejak dari dulu masyarakat adat Mappurondo dikenal sebagai masyarakat yang menjunjung nilai-nilai kejujuran. Menurut Arma, jika ada jam tangan, dompet atau barang lainnya tercecer di wilayah mereka, bisa dipastikan tidak akan hilang. Warga yang menemukannya akan menyimpan barang tersebut di lokasi barang ditemukan.
“Saya biasa melihat jam tangan yang sudah berlumut tergantung di pohon, tidak ada yang berani menyentuh, apalagi mengambilnya,” lanjut Arma.
Ciri utama yang melekat pada paham penghayat Mappurondo adalah pantang mengambil barang yang bukan miliknya. Kejujuran menjadi penopang utama perilaku kehidupan sosial mereka. Karena itu tidak mengherankan jika kehidupan sosial mereka sangat tenteram, bersahabat, dan terbuka.
Jika di beberapa tempat, pelaksanaan pemilihan kepala desa (Pilkades) sering kali menuai konflik, bahkan ada yang berakhir ricuh, fenomena semacam ini, sejauh ini belum pernah terjadi di kalangan penghayat Mappurondo. Mereka menyerahkan keputusan kepada pimpinan adat mereka. Apa pun keputusan tokoh adat, itulah yang terbaik untuk mereka.
Meski praktik hidup mereka terkesan tradisional, namun perilaku sosial mereka sangat terbuka. Bahkan ada desa yang mayoritas penduduknya penghayat Mappurondo, namun kepala desanya beragama Kristen. Tentu saja kejujuran, sikap terbuka, dan kepedulian sosial bagi masyarakat Mappurondo bukan sekadar wacana, tetapi sudah menjadi laku kehidupan keseharian mereka. Bahkan jauh sebelum kantin kejujuran dicanangkan di sekolah-sekolah modern.
Potret Kehidupan Sosial
Mamasa tidak hanya dikenal dengan keindahan alamnya yang eksotik, tetapi juga perangai dan perilaku manusianya. Mereka terkenal ramah, bahkan tidak sungkan melempar senyum atau menyapa orang yang baru mereka dijumpai, meskipun tidak mengenalnya. Suasana alam yang sejuk sekaligus menandai sikap mereka yang begitu dingin terhadap berbagai perbedaan.
Hal itu terlihat saat saya mengamati suasana Kota Mamasa. Tak jauh dari tempat saya menginap, berdiri masjid megah dengan toa kurang lebih setinggi delapan meter mengarah ke pemukiman warga. Jelang waktu salat, suara toa akan terdengar nyaring sebagaimana masjid pada umumnya di daerah-daerah mayoritas Muslim.
Tak hanya itu, memasuki waktu subuh, suara toa masjid yang berada tak jauh dari kompleks pasar itu juga akan terdengar nyaring. Tampak warga sekitar sudah terbiasa dengan suasana seperti itu. Beberapa warga yang kami jumpai mengaku bahwa suara masjid di subuh hari itu membantu aktivitas mereka, karena mereka bisa bangun lebih cepat mempersiapkan sesuatu.
Di bagian timur, tampak beberapa gereja berdiri tegak di atas bukit melandai. Warga yang baru pertama-kali berkunjung ke wilayah ini tentu tak perlu heran, sebab wilayah ini memang mayoritas dihuni oleh orang-orang Nasrani. Di kota ini, gereja dan masjid berdiri berdampingan. Demikian pula warganya, juga sangat beragam, baik secara etnis maupun agama.
Pemukiman warga di Kota Mamasa tampak begitu padat, rumah-rumah warga berjejer tampak tak beraturan dan melandai. Sejak dahulu Mamasa dikenal sebagai kota bukit. Pada dini hari, kota ini akan terasa sangat sepi. Suara deru kendaraan yang lazim terdengar di kota-kota sangat jarang ditemukan di Mamasa, justru yang nyaring terdengar adalah lolongan anjing dan suara kokok ayam jantan bersahutan.
Ajaran Kasih
Kesejukan alam yang sekaligus menjadi ciri khas Kabupaten Mamasa berbanding lurus dengan pola kehidupan sosial masyarakatnya yang adem, guyub, dan bersahabat. Toleransi antarsesama juga terjalin dengan baik. Hal itu terlihat pada realitas kehidupan gotong royong yang masih eksis dipertahankan hingga saat ini.
Jika kesan dan pesan senantiasa mewarnai setiap perjalanan, maka hal mendasar yang saya temukan dalam perjalan ke Mamasa adalah kesan tentang alam, manusia, dan kearifan hidup. Kesan tersebut di dalamnya tersirat pesan tentang kemanusiaan dan kearifan hidup yang tersublimasi dalam kata “sikamase”, yang berarti saling menyayangi dan mengasihi antarsesama.
Sikamase berasal dari kata mamase yang berarti kasih, yang belakangan berubah menjadi “mamasa” karena disesuaikan dengan pengucapan lidah orang-orang Belanda yang belakangan datang di bumi berjuluk “kondo sapata uwai sapaleleang” itu. Kendati demikian, hal tersebut tidak mengubah makna, apalagi laku hidup “sikamase” masyarakat Mamasa. Justru prinsip hidup “sikamase” semakin mengakar kuat seiring dengan hadirnya agama Kristen, karena prinsip hidup tersebut dinilai selaras dengan ajaran Kristen yang menjadi agama mayoritas di wilayah ini.