Guru, Supriyani, dan polisi menjadi tiga kata yang hari-hari ini menghebohkan jagat Indonesia. Sejenak masyarakat melupakan makin beratnya daya beli belanja sehari-hari karena kondisi ekonomi dan hebohnya Natalius Pigai sang Menteri Hak Asasi Manusia yang meminta anggaran dua puluh triliun rupiah di hadapan Dewan Perwakilan Rakyat.
Tidak hanya ramai oleh warga bangsa di dunia maya, kasus ini mendapatkan perhatian dari para wakil rakyat di DPR dan berbagai organisasi masyarakat sipil, terutama yang bergerak di bidang pendidikan dan pendampingan hukum. Pasalnya, kasus yang awalnya tampak sederhana ini membawa persoalan turunan yang bertubi-tubi.
Sebagai inti persoalan adalah tuduhan bahwa Guru Supriyani menganiaya seorang muridnya di SDN 4 Baito, Kabupaten Konawe Selatan, nun jauh dari pusat kekuasaan Indonesia. Tuduhan dilontarkan oleh orangtua murid, Aipda WH. Awalnya diupayakan jalan damai, tetapi akhirnya Supriyani harus menjalani proses hukum, ditahan di rutan dan saat ini sedang menjalani proses persidangan.
Kasus ini meluas ke persoalan tuduhan bahwa anggota kepolisian setempat melakukan intimidasi halus, yang diduga tak lepas dari predikat orangtua sang murid yang adalah Kanit Intelkam di Polres. Pertama, agar Supriyani mengakui kesalahannya kalau ingin jalan damai. Kedua, agar Supriyani membayar lima puluh juta rupiah dalam skema keadilan restoratif. Tuduhan ini berbuntut pemeriksaan kepada anggota kepolisian yang disinyalir terlibat.
Di tengah proses ini, Supriyani sempat dibebaskan dari tahanan, agaknya karena tekanan publik melalui media sosial dan media massa yang cukup kuat. Supriyani tidak berani pulang ke rumah karena takut intimidasi. Ia pun ditampung di rumah dinas Camat Baito.
Mendadak kaca mobil Pak Camat pecah. Pak Camat menduga ini tindakan intimidasi. Akibat pernyataannya di media, Pak Camat dinonaktifkan oleh Bupati Konawe Selatan. Bupati pun dikecam oleh publik.
Di sisi lain, ibu sang murid menyebutkan anaknya telah dikeluarkan dari sekolah dengan berbagai alasan. Sang anak kelas 1 SD tersebut pun tertekan karena harus berhadapan dengan banyak orang untuk dimintai keterangan dan kebingungan mengapa ia tidak lagi berangkat ke sekolah. Pada akhirnya, dialah korban sejati dari keributan orang-orang dewasa atas dirinya.
Sungguh ruwet polemik ini. Ada soal hubungan guru dan murid dalam konteks belajar mengajar. Sejauh mana seorang guru dapat menghukum muridnya tanpa melanggar hak anak. Hubungan guru dan orangtua murid. Sikap dan perilaku aparat penegak hukum. Sikap penguasa dalam konteks tersebut. Dan tentu saja penggunaan pendekatan keadilan restoratif untuk menyelesaikan kasus ini.
Menurut hukumonline.com, keadilan restoratif adalah alternatif penyelesaian perkara tindak pidana yang dalam mekanisme tata cara peradilan berfokus pada pemidanaan yang diubah menjadi proses dialog dan mediasi yang melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait.
Situs organisasi Restorative Justice Exchange menyebutkan tujuan keadilan restoratif adalah untuk memperbaiki hubungan antara korban, pelaku, dan masyarakat. Ini dilakukan dengan memberikan ruang pengakuan beban psikologis berkepanjangan yang dialami korban, ruang penyesalan sungguh-sungguh oleh pelaku, dan ruang permaafan dari semua pihak yang terlibat.
Ada tiga elemen yang harus ada dalam proses keadilan restoratif: encounter (pertemuan), repair (penyembuhan), dan transformation (transformasi). Sang pelaku perlu mengakui tindakan jahatnya dan sungguh-sungguh menyesal, serta siap untuk memberikan kompensasi atas kerugian korban. Sang korban perlu membuka diri untuk menerima dan memaafkan sang pelaku. Lingkungan yang terlibat perlu untuk berbesar jiwa. Untuk itu diperlukan fasilitator yang andal, biasanya aparat penegak hukum.
Tetapi, sayangnya, konsep ini di Indonesia mudah terpeleset pada penyelesaian damai yang dipaksakan, melulu pada upaya menghindari proses penyelesaian hukum.
Tetapi, sayangnya, konsep ini di Indonesia mudah terpeleset pada penyelesaian damai yang dipaksakan, melulu pada upaya menghindari proses penyelesaian hukum, atau pada kasus-kasus lain menjadi upaya untuk mengambil kesempatan dari pelaku. Misalnya dalam kasus Pak Guru Marsono pada bulan September 2024, muncul narasi tuntutan uang damai sejumlah tujuh puluh juta rupiah.
Pak Guru Marsono dituduh menganiaya seorang murid kelas 3 di sebuah sekolah dasar negeri di Wonosobo, dan dilaporkan oleh orangtua sang murid. Pak Son berkilah dirinya hanya melerai anak-anak yang sedang cekcok. Tetapi sang orangtua yang adalah pesohor lokal tidak terima. Ia melaporkan Pak Son ke kantor polisi setempat.
Ia pun meminta Pak Son membayar uang damai agar urusan ini bisa diselesaikan. Belakangan, angka uang damai ini diturunkan dari jumlah awal menjadi tiga puluh juta rupiah, dan terakhir menjadi lima belas juta rupiah. Pak Son bersikukuh tidak melakukan tindakan yang dituduhkan. Ia pun menyampaikan dirinya tidak memiliki uang yang diminta. Akibatnya, sampai saat ini, Pak Son masih menjalani proses pemeriksaan di kantor polisi setempat.
Dalam kasus Bu Guru Supriyani, permintaan uang damai sebesar lima puluh juta rupiah disangkal oleh orangtua sang murid. Menurut Kepala Desa, angka tersebut disodorkan oleh oknum anggota kepolisian setempat. Supriyani sendiri menolak tawaran pendekatan ini. Syarat utama keadilan restoratif pun tidak terpenuhi, yaitu kehendak baik dari semua pihak yang terlibat.
Dari dua kasus ini kita perlu belajar untuk lebih hati-hati dalam mencerna keadilan restoratif. Niat baik untuk membuat pemulihan kehidupan bersama justru bisa tergadaikan.
Bila ini berkembang menjadi budaya baru penyelesaian kasus, tentu justru berdampak pada keadilan sejati yang kita perjuangkan. Jangan sampai konsep baik ini terpeleset menjadi sebatas urusan uang damai: perlu ada uang kalau ingin damai. Sebatas damai sajalah.
_______________
Artikel ini dimuat pertama kali di rubrik “Udar Rasa” Kompas, 3 November 2024