Trias Koruptika: Simfoni Gelap di Balik Kekuasaan

Hari Antikorupsi Sedunia selalu menjadi momen refleksi, semacam cermin besar untuk melihat sejauh mana bangsa ini berhasil melawan korupsi. Sayangnya, semakin sering kita merayakan hari ini, semakin terasa ironi bahwa korupsi tetap tumbuh subur.

Jika korupsi adalah orkestra, maka Indonesia mungkin telah menyusun apa yang bisa disebut sebagai Trias Koruptika—sebuah plesetan dari konsep Trias Politica. Di sinilah eksekutif, legislatif, dan yudikatif, yang seharusnya menjaga harmoni pemerintahan, justru saling berkolaborasi memainkan simfoni kecurangan.

Mari kita urai bagaimana Trias Koruptika ini bekerja, apa dampaknya, dan apa yang bisa kita lakukan agar harmoni keadilan kembali menjadi nada utama bangsa.

Eksekutif, Sang Dalang

Eksekutif, cabang pemerintahan yang menjalankan roda negara, sering berada di posisi strategis untuk memulai permainan korupsi. Dalam banyak kasus, kepala daerah atau pejabat tinggi lainnya memainkan peran utama sebagai dalang. Mereka memiliki kuasa besar atas anggaran negara, program pembangunan, hingga proyek pengadaan barang dan jasa.

Bayangkan sebuah proyek pembangunan jalan. Anggaran sudah disahkan, tetapi sebelum aspal digelar, ada “biaya administrasi” yang harus dibayarkan oleh kontraktor kepada pejabat terkait. Uang itu tidak masuk kas negara, melainkan ke kantong pribadi. Hasilnya? Jalan jadi cepat rusak karena spesifikasi dikorbankan untuk menutupi biaya siluman.

Yang lebih menyedihkan, praktik ini seperti rutinitas. Seolah-olah korupsi dalam eksekutif adalah bagian dari sistem, bahkan menjadi rahasia umum yang tak lagi membuat kita terkejut.

Legislatif, Sang Partner in Crime

Kalau eksekutif adalah dalang, maka legislatif sering kali menjadi partner in crime. Bukannya menjalankan fungsi pengawasan, mereka justru menjadi bagian dari permainan. Istilah seperti “bancakan anggaran” atau “setoran proyek” bukan sekadar isapan jempol.

Legislatif, yang bertugas menyetujui anggaran dan membuat undang-undang, sering kali menjadikan kekuasaan mereka sebagai alat tawar. Dukungan terhadap rancangan anggaran daerah, misalnya, bisa dikondisikan melalui “uang pelicin.” Hasilnya? Proyek pemerintah yang mestinya mensejahterakan rakyat malah jadi ladang bisnis kotor antara kedua cabang kekuasaan ini.

Dan ketika ada skandal besar yang terungkap, sikap mereka sering kali seperti aktor drama. Mereka mengecam keras di depan kamera, tetapi di balik layar, mereka saling melindungi.

Yudikatif, Sang Penjaga Gerbang yang Lengah

Seharusnya, yudikatif adalah benteng terakhir keadilan. Ketika eksekutif dan legislatif menyimpang, yudikatif mestinya hadir sebagai penjaga gerbang yang memastikan keadilan ditegakkan. Namun, apa yang terjadi jika penjaga gerbang ini sendiri terlibat?

Skandal suap di kalangan hakim, jaksa, atau aparat penegak hukum lainnya menunjukkan betapa rentannya sistem peradilan kita. Pelaku korupsi yang punya uang bisa membeli vonis ringan, bahkan bebas. Kasus besar berubah menjadi angin lalu, sementara korupsi kecil-kecilan dihukum berat, seolah untuk memberikan ilusi bahwa hukum tetap berjalan.

Mengurai Simfoni Gelap

Menghadapi Trias Koruptika bukan perkara mudah. Ketiga cabang kekuasaan ini saling menopang dalam lingkaran setan korupsi yang sulit diputus. Namun, bukan berarti tidak ada harapan.

  1. Meningkatkan Transparansi
    Langkah pertama adalah membongkar tabir gelap di balik sistem pemerintahan. Teknologi digital bisa menjadi alat yang ampuh. Misalnya, sistem anggaran berbasis daring yang transparan dan mudah diakses publik. Dengan begitu, setiap pengeluaran bisa dipantau, dan peluang penyimpangan bisa diminimalkan.
  2. Memperkuat Lembaga Pengawas
    KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) adalah salah satu lembaga yang masih dipercaya publik. Namun, KPK tidak bisa bekerja sendiri. Dibutuhkan sinergi dengan lembaga lain, termasuk masyarakat sipil dan media, untuk menjaga integritas pemerintahan.
  3. Mengubah Budaya Politik
    Korupsi tidak hanya soal sistem, tetapi juga budaya. Ketika politik uang menjadi hal biasa, maka pemimpin yang lahir dari proses itu cenderung melanggengkan praktik korupsi. Pendidikan antikorupsi harus dimulai sejak dini, agar generasi mendatang memiliki integritas tinggi.
  4. Membenahi Yudikatif
    Reformasi di tubuh yudikatif mutlak diperlukan. Aparat penegak hukum yang terlibat korupsi harus dihukum berat sebagai efek jera. Selain itu, diperlukan pengawasan independen terhadap proses hukum, sehingga vonis tidak bisa dibeli.

Harapan di Tengah Gelap

Hari Antikorupsi Sedunia mengingatkan kita bahwa perang melawan korupsi adalah tugas bersama. Trias Koruptika mungkin masih menjadi realitas pahit, tetapi harapan tetap ada.

Kita membutuhkan pemimpin dengan integritas tinggi, masyarakat yang berani bersuara, dan sistem yang transparan untuk membongkar simfoni gelap ini. Jika setiap dari kita berperan, harmoni keadilan bukan lagi mimpi.

Mari jadikan momen ini sebagai langkah awal menuju perubahan. Sebab, korupsi bukan hanya soal uang yang hilang, tetapi juga tentang kepercayaan yang dirampas dan masa depan yang dipertaruhkan.

Ketua PAC Ansor Balen. Jamaah GUSDURian Bojonegoro, Jawa Timur.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *