YOGYAKARTA – Suara emas dua kawan tuna netra berduet diiringi alunan piano menggema di Gedung Multi Purpose kala siang menjelang sore, Selasa 10 Desember 2024. Tiga persembahan lagu yang syahdu pembuka acara disambut tepuk tangan meriah hadirin Talkshow Religion for Humanity and Environment yang berlangsung di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Acara ini merupakan kerja sama antara Sacred Environment Society (Serenity), Kalijaga, Research, Innovation and Community Engagement Awards (Krisna), dan Jaringan GUSDURian yang menjadi bagian dari rangkaian acara LPPM UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Talkshow ini menghadirkan para narasumber yang sangat menarik, antara lain Inaya Wahid (Tim Pokja Keadilan Ekologi Jaringan GUSDURian), Jay Akhmad (Koordinator Nasional Jaringan GUSDURian), Suster Marisa (Koordinator KPKC Sister CBIND dan pengurus KKP PMP KWI), serta Dr. Suhadi Cholil (Dosen Program Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga).
Ratusan peserta baik mahasiswa maupun jejaring lintas iman antusias mengikuti acara yang menghadirkan tokoh-tokoh agama untuk membicarakan spirit dan filosofi dalam setiap agama yang memberikan penghormatan dan komitmen yang tinggi untuk melestarikan alam serta menjaga bumi.
Dalam sambutannya, Rektor UIN Sunan Kalijaga Noorhaidi Hasan menyampaikan bahwa ada banyak petaka yang menimpa bumi. Kerusakan yang terjadi di bumi ini meliputi penggundulan hutan dan eksploitasi yang berlebihan terhadap kekayaan alam yang ada di dalam bumi. Karena itu sekarang bumi sedang sedikit merana menghadapi global warming.
“Cuaca mengalami anomali, iklim mengalami anomali, batas antara musim panas, musim dingin, semi, musim gugur, tidak begitu jelas lagi. Anomali-anomali ini tidak bisa dipisahkan dari terjadinya fenomena global warming yang tentu saja disebabkan oleh keserakahan kita dalam mengeksploitasi alam,” ungkapnya.
Ia juga mengharapkan melalui acara ini terjalin dialog yang menggali nilai-nilai, prinsip-prinsip, semangat serta filosofi yang ada di semua agama terkait komitmen yang tinggi untuk melestarikan, merawat, menjaga bumi dan alam semesta.
Sementara itu, Suster Marisa mengungkapkan bahwa agama untuk kemanusiaan dan lingkungan ini menuntut sebuah kesetiaan bagi kita untuk mencintai bumi sebagai rahim kehidupan. Dirinya juga mengutip Paus Benediktus XVI dalam Ensiklik Caritas in Veritate (2009, No. 48) yang menyadarkan kita bahwa alam adalah anugerah Allah untuk semua orang sehingga harus dikelola secara bertanggung jawab bagi seluruh umat manusia. Dia menceritakan keterlibatannya dalam berbagai upaya eco-pastoral untuk menyebarluaskan spiritualitas ekologis.
“Kegiatan ini kami lakukan secara aktif melalui kerja sama dengan sekolah-sekolah, pemberdayaan masyarakat, serta kolaborasi dengan berbagai pihak yang memiliki visi menjaga keutuhan ciptaan Tuhan,” terangnya.
Dalam bidang akademik, Dr. Suhadi Cholil mengemukakan krisis lingkungan yang ada saat ini merupakan konsekuensi dari peradaban yang kita bangun sejak sekitar 500-an tahun lalu dan terutama 300 tahun lalu ketika industri mulai berkembang. Ada perubahan perilaku dan ikatan emosional manusia terhadap alam dan binatang.
Merujuk pada sebuah hadis, dulu orang memiliki rasa kasihan yang besar ketika akan menyembelih binatang. Akan tetapi saat ini dalam peternakan modern ayam yang kita makan cara menyembelihnya dicatat pada mesin, pakai pisau listrik, dan sebagainya. “Feeling itu nggak ada,” ungkap Suhadi. Absennya ikatan perasaan pada makhluk lain serta alam inilah yang menyebabkan proses-proses dalam menjalankan segala aspek kehidupan mengabaikan kemanusiaan dan kelestarian lingkungan.
Adapun dari Jaringan GUSDURian, Jay Ahmad mengajak para hadirin untuk berpikir tentang berapa banyak sampah-sampah yang dihasilkan dari berbagai acara di tempat-tempat ibadah akan tetapi jarang pemuka agama yang menyampaikan peran agama terkait dengan lingkungan.
“Bagian dari agama masih punya peran. Tidak hanya mengajak umatnya masuk surga tapi bagaimana menjadikan bumi ini surga itu sendiri,” paparnya.
Sebagai narasumber pamungkas, Inaya Wahid mengingatkan bahwa ketika terjadi krisis iklim bukan bumi yang merana, melainkan manusia. Bumi tidak membutuhkan manusia, tapi manusia yang membutuhkan bumi.
“Kalau bumi itu sustain, maka manusia akan sustain. Kalau bumi tidak sustain, manusia tidak akan sustain. Jadi untuk menjaga sustainabilitas kita, yang perlu kita lakukan pertama kali adalah menjaga sustainabilitas alam,” ujarnya.
Akan tetapi, menurutnya, yang sering kali kemudian gagal dipahami (terutama kemudian dilakukan oleh para pembuat kebijakan) adalah bagaimana kemudian mengartikan alam itu. Misalnya undang-undang kekayaan alam dimanfaatkan sebaik-baiknya itu kemudian sering kali disalahartikan sebagai tindakan eksploitasi dan tindakan yang luar biasa destruktif yang dibungkus dengan pernyataan “untuk kemaslahatan orang banyak”.
Bagi Inaya, persoalan lingkungan ini juga harus dibahas dengan membertimbangkan sektor-sektor lain. Hari ini ketika kita bicara soal lingkungan hidup, maka kita harus bicara soal agama, gender, ekonomi, politik, sosial, dan lain sebagainya.
Solusi untuk menyelamatkan lingkungan menurut Inaya Wahid adalah dengan memotong konsumsi kita sebesar mungkin. Perlawanan terbesar yang bisa kita lakukan adalah mengurangi konsumsi kita semaksimal mungkin, dengan demikian pejuang lingkungan hidup tidak lagi berjuang sendirian.
Peletakan lilin Sustainable Development Goals menjadi penutup dari acara ini. Para tokoh dari lintas agama/kepercayaan bersama para hadirin secara kompak mendeklarasikan komitmen bersama yang salah satu poinnya adalah menyerukan pentingnya menjaga keseimbangan ekologis melalui tindakan nyata untuk melestarikan lingkungan hidup, memanfaatkan sumber daya alam secara bijaksana, dan melibatkan kearifan lokal dalam solusi berkelanjutan.