Setiap warna punya karakter dan keunikan masing-masing. Ketika mereka bersatu, akan tercipta gradasi yang indah, menjadi harmoni yang saling melengkapi. Begitulah konsep yang ingin dihadirkan oleh SMA Pangudi Luhur St. Yusup Yogyakarta, yang terletak di jantung Kota Yogyakarta, tepatnya di Jl. Panembahan Senopati No.18, Prawirodirjan, Gondomanan.
Melalui kegiatan srawung bersama Komunitas GUSDURian Yogyakarta pada Kamis, 12 Desember 2024, sekolah ini memberikan ruang bagi siswa untuk menemukan dan merayakan ‘warna’ mereka masing-masing dalam keberagaman yang penuh warna.
Galang Ananta, guru agama Katolik yang telah dua tahun mengabdi di SMA Pangudi Luhur St. Yusup, sebelumnya memiliki pengalaman tujuh tahun di SMA Pangudi Luhur Van Lith Muntilan. Ia memulai inisiatif srawung dengan keyakinan sederhana namun sarat makna: keberagaman adalah kekuatan.
Menurutnya, setiap individu berhak menunjukkan warna unik mereka tanpa takut merasa terpinggirkan dalam keberagaman.
Tidak bisa dimungkiri, pendidikan agama sering kali lebih fokus pada pengetahuan, teori, dan doktrin, yang kadang membuat kita bertanya: bagaimana agar setiap siswa bisa mengekspresikan keimanan mereka tanpa merasa terpinggirkan?
Di sinilah srawung memainkan perannya. Kegiatan ini dirancang untuk mendorong siswa non-Katolik, seperti yang beragama Islam, Protestan, Hindu, dan Buddha, dan keyakinan lainnya agar lebih percaya diri dalam mengamalkan ajaran agama mereka, baik di lingkungan sekolah maupun dalam kehidupan sehari-hari.
Selain itu, srawung juga melatih para siswa untuk beradaptasi dengan perbedaan, menciptakan ruang kebersamaan yang harmonis di tengah keberagaman.
Keseragaman sering kali bersinggungan dengan mayoritarianisme, yang dapat berujung pada dominasi dan akhirnya bermuara pada diskriminasi. Di daerah dengan mayoritas Katolik, misalnya, Katolik sering dianggap “paling benar” atau “paling berhak.”
Fenomena yang sama juga bisa terjadi di wilayah mayoritas Hindu, mayoritas Islam, dan sebagainya. Pemahaman ini perlu dibongkar agar siswa tidak terjebak dalam pola pikir atau paradigma yang hanya melihat dunia dari sudut pandang dominasi atau satu warna, melainkan lebih mengutamakan harmoni seperti pelangi.
“Tidak semua yang seragam itu indah… ketika beragam, bagaimana setiap pribadi bisa beradaptasi dengan keberagaman tanpa merasa ‘paling’,” ujar Galang.
Sebab itu, dalam salah satu sesi srawung, para siswa dibagi menjadi empat kelompok kecil untuk berdiskusi mengenai paradigma.
Salah satu materi yang disampaikan oleh Naufal Rafif Muzakki, mahasiswa Filsafat Universitas Gadjah Mada (UGM) sekaligus penggerak Komunitas GUSDURian Yogyakarta, menjelaskan bahwa keputusan seseorang sering kali dipengaruhi oleh paradigma yang mereka miliki.
Naufal memberi contoh sederhana: angka 9 yang dapat terlihat sebagai angka 6 ketika dilihat dari sudut pandang yang berbeda.
Para siswa kemudian didampingi oleh fasilitator untuk menggali lebih dalam tentang paradigma ini. Setiap kelompok diminta mendeskripsikan sebuah foto yang memperlihatkan gelas berisi air.
Ada yang menyebutnya “air setengah gelas,” ada juga yang menyebutnya “air setengah penuh,” bahkan ada yang menggambarkannya sebagai “air yang tenang.” Naufal pun bertanya, “Berapa pendapat yang ada di kelompok kalian?”
Salah satu kelompok menjawab dua, lalu Naufal melanjutkan, “Yang mana yang benar?”
Paradigma ini sangat penting untuk menjelaskan bagaimana siswa non-Katolik dapat mengekspresikan dan menjalankan ibadah sesuai keyakinan mereka masing-masing.
Baik Galang, sebagai guru agama, maupun para penggerak Komunitas GUSDURian Yogyakarta, sebagai fasilitator, berusaha memahami alasan di balik keengganan beberapa siswa non-Katolik untuk beribadah di ruang doa yang telah disediakan oleh sekolah.
Untuk mendapatkan jawaban yang jujur dan kenyamanan bagi siswa, para penggerak Komunitas GUSDURian menyusun beberapa pertanyaan menggunakan Mentimeter, sehingga para siswa bisa menjawab secara anonim tanpa merasa terintimidasi.
Salah satu pertanyaannya adalah, Apakah kamu merasa malu atau takut ketika menjalankan ibadah di sekolah? Jelaskan!
Hasilnya bervariasi, mulai dari jawaban serius hingga guyonan, seperti beberapa siswa yang berulang kali menyebut nama cinta monyetnya, maklum saja, memang sedang dalam masa-masanya.
Beberapa tanggapan cukup menggelitik dan patut mendapat perhatian dari pihak SMA Pangudi Luhur St. Yusup Yogyakarta. Jawaban seperti ‘tidak ada fasilitas yang memadai’ atau ‘ya, karena saya minoritas’ mengindikasikan perlunya ruang ibadah yang lebih inklusif untuk memenuhi kebutuhan rohani seluruh siswa.
Dihadapkan pada temuan ini, Galang Ananta mengakui bahwa sekolah memiliki keterbatasan dalam menyediakan guru agama lintas iman.
Namun, Galang menegaskan bahwa SMA Pangudi Luhur berkomitmen untuk menciptakan ‘rumah’ yang aman dan nyaman bagi semua siswa agar dapat beribadah sesuai dengan keyakinan masing-masing.
Sekolah terus berupaya mencari solusi kreatif untuk mengatasi tantangan ini, seperti memperbaiki dan merancang ulang ruang doa agar sesuai dengan fungsinya, sembari tetap menjunjung tinggi nilai-nilai toleransi dan keberagaman.
Sama seperti palet warna yang menciptakan gradasi keindahan dalam keberagaman, begitu pula siswa SMA Pangudi Luhur St. Yusup Yogyakarta.
Melalui kegiatan srawung ini, sekolah telah berhasil menciptakan harmoni dalam keberagaman, di mana setiap individu bebas mengekspresikan warna uniknya. Ini adalah langkah maju yang patut diapresiasi, membuka jalan bagi masa depan pendidikan yang lebih inklusif dan toleran.