Rentetan pelanggaran HAM di Indonesia seolah tak pernah berhenti. Dari tragedi besar hingga insiden memilukan seperti penembakan Gamma Rizkynata Oktafandy oleh aparat kepolisian, kita terus dihadapkan pada kenyataan pahit bahwa hak asasi manusia belum sepenuhnya dihormati.
Dalam menghadapi kompleksitas persoalan HAM yang terus berlangsung, kita membutuhkan perspektif yang tidak hanya menyentuh gejala, tetapi juga akar permasalahan, sebagaimana diusulkan oleh Gus Dur.
Dalam situasi ini, pemikiran Gus Dur tentang keadilan sosial dan ekonomi menjadi semakin relevan, sebagai fondasi untuk menata ulang perjuangan HAM kita. Untuk menjawab tantangan tersebut, kita dapat menelaah salah satu karya Gus Dur yang mengupas perspektif baru dalam perjuangan HAM.
Namun, bagaimana ide-ide Gus Dur dapat diterjemahkan untuk menjawab tantangan HAM di era yang semakin kompleks ini?
Salah satu jawabannya terletak dalam esainya yang berjudul “Mencari Perspektif Baru dalam Penegakan Hak-Hak Asasi Manusia”. Dalam esai tersebut, Gus Dur membahas perspektif HAM yang tetap bersangkut paut hingga hari ini.
Karya ini dibedah dalam acara Cangkrukan Pemikiran Gus Dur pada Jumat, 13 Desember 2024, dengan tema “HAM dalam Perspektif Gus Dur dan Kontekstualisasinya Hari Ini.” Acara tersebut menghadirkan Kharisma Wardhatul K dari LBH Yogyakarta dan Himawan Kurniadi (Adi) dari Forum Cik Ditiro sebagai pemantik diskusi.
Dalam esainya, Gus Dur mengajukan dua landasan penting yang menjadi dasar perjuangan HAM: landasan sosial-ekonomis dan landasan demokrasi ekonomi.
Dalam pendekatan sosial-ekonomi, Gus Dur mengutip dua tokoh dengan pandangan yang bertolak belakang: Aswab Mahasin dari Timur dan Henry Shue yang mewakili pemikiran Barat.
Mahasin percaya bahwa perjuangan HAM harus dimulai dengan membentuk kelas menengah yang kuat. Ia berargumen bahwa hanya melalui kelas menengah yang terorganisir, perjuangan ini dapat berlangsung dengan cara bottom-up, yaitu mendorong perubahan struktural dari bawah ke atas.
Sebaliknya, Shue menolak pendekatan berbasis konfrontasi semacam ini. Ia menekankan bahwa perjuangan HAM harus berlandaskan kebebasan individu, yaitu dengan memastikan kelayakan hidup dan pemenuhan hak-hak dasar tanpa perlu konflik.
Dua pandangan ini dikutip Gus Dur untuk mengajak kita merefleksikan: apakah perjuangan HAM sebaiknya berakar pada perubahan sosial kolektif atau dimulai dari pemenuhan hak-hak individu?
Gus Dur kemudian memperluas gagasannya dengan menawarkan landasan demokrasi ekonomi yang lebih radikal. Ia menyoroti bahwa pendekatan sosial-ekonomis yang ditawarkan oleh Mahasin dan Shue berisiko justru memperkuat penindasan dan eksploitasi.
Dalam menghadapi kompleksitas persoalan HAM yang terus berlangsung, Gus Dur menyarankan perlunya melawan penguasaan ekonomi oleh segelintir orang, sebuah konsep yang kini dikenal dengan istilah oligarki.
Pendekatan demokrasi ekonomi yang “kekirian” dalam perjuangan HAM mencakup tiga agenda besar.
Menurut pandangan ini, perjuangan kemanusiaan meliputi pembagian tanah secara adil untuk buruh tani dan petani penggarap, pengaturan kembali struktur kehidupan ekonomi yang terlalu menguntungkan pemilik modal, serta penghancuran lembaga-lembaga finansial yang bersifat eksploitatif.
Gus Dur menutup gagasannya dengan sebuah pertanyaan: bagaimana menyatukan dua pendekatan ini, sosial-ekonomis dan demokrasi ekonomi, agar perjuangan HAM menjadi lebih solid dan tidak terpecah belah?
Tantangan Kontekstual Perjuangan HAM di Indonesia
Pemikiran Gus Dur tetap erat ketika diterapkan pada berbagai permasalahan HAM di Indonesia yang sangat kompleks dan multidimensi.
Masalah-masalah seperti tragedi 1965, pelanggaran HAM 1998, tragedi Kanjuruhan, hingga konflik di Papua menunjukkan bahwa persoalan HAM di Indonesia tidak lepas dari tiga kekuatan utama: oligarki, militerisme, dan geopolitik global.
Sebagaimana dipaparkan oleh Adi, watak militeristik di Indonesia menjadi salah satu hambatan utama dalam menyelesaikan kasus HAM.
Peran militer, terutama Angkatan Darat, kata Adi, sering kali menjadi operator sekaligus motor dalam pelanggaran HAM, mulai dari tragedi 1965 hingga ekspansi modal di Papua.
“Jadi biar kita tidak ragu atau abu-abu dalam melihat konteks (pelanggar) HAM secara utuh… kalau di Indonesia, kita juga harus tunjuk hidung, siapa itu? Kalau menurutku, dari rentetan panjang itu ya Angkatan Darat,” papar Adi.
Militerisme tidak hanya bercokol dalam pertahanan negara, tetapi juga merembes ke dalam partai politik, menciptakan efek domino represif yang menganggap HAM sebagai penghambat pembangunan.
Di sisi lain, oligarki yang mencengkeram kuat pada ekonomi dan politik kita kian memperparah ketimpangan. Mereka memanfaatkan segala peluang, termasuk kerja sama dengan ormas agama, untuk mengamankan kepentingan golongan mereka.
Akibatnya, perjuangan HAM sering kali berhadapan dengan dua musuh besar: kekuatan represif militeristik dan oportunisme oligarki.
Menuju Perlawanan yang Solid
Dalam menghadapi berbagai kekuatan represif ini, diperlukan strategi yang terintegrasi agar perjuangan HAM tidak terjebak dalam fragmentasi.
Penyatuan dua landasan pemikiran, sosial-ekonomis dan demokrasi ekonomi, menjadi kunci agar perjuangan ini tidak partisan dan mencakup seluruh aspek. Selain itu, tekanan terhadap dominasi militer dan oligarki harus menjadi agenda utama.
Sebagaimana dinyatakan oleh Adi, transparansi keuangan institusi militer dan polisi harus didorong sebagai langkah awal. Tanpa keberanian untuk menekan kekuatan-kekuatan besar ini, penyelesaian kasus-kasus HAM akan terus menjadi angan-angan.
“Jokowi ngasih corak lain, soal penjahatnya, yaitu polisi, di kasus Kanjuruhan misalnya, Wadas, YIA… watak mereka juga sama,” sambung Adi.
Hal ini menegaskan bahwa selain militer, aparat kepolisian juga memiliki peran besar dalam berbagai pelanggaran HAM yang belum diselesaikan, seperti kasus penembakan Gamma yang telah disinggung di awal esai.
Lebih lanjut, pemantik cangkrukan lainnya, Kharisma, menggarisbawahi bahwa di saat yang sama kriminalisasi terhadap pembela HAM semakin meningkat, disertai dengan banyaknya kasus pembubaran kegiatan yang terjadi.
“List-nya tuh semakin bertambah setiap tahunnya,” ungkapnya.
Ia juga menyoroti seringnya terjadi penyalahgunaan istilah, misleading, terkait hak asasi manusia, seperti ketika polisi yang melakukan pelanggaran HAM justru membela diri dengan dalih bahwa “hak asasi polisi juga terlukai.”
Geza Bayu, moderator cangkrukan, kemudian menutup diskusi dengan menekankan bagaimana tabiat militeristik telah menyusup ke dalam partai politik Indonesia, yang seharusnya menjadi mesin demokrasi.
Ia menyoroti bahwa ada dua watak yang perlu dilawan: pertama, watak militeristik yang menggunakan cara-cara represif dan menindas, sering kali memanfaatkan alat-alat negara, seperti dalam Proyek Strategis Nasional (PSN) yang menggusur masyarakat adat.
Kedua, watak oligarkis yang oportunistis, yang memanfaatkan segala peluang untuk kepentingan golongan, termasuk melalui ormas agama yang menerima keuntungan dari tambang.
“Semoga kita tetap solid untuk melawan,” lanjut Geza, sebelum menambahkan dengan nada berkelakar, “Nah, ini saya enggak tahu mau melawan siapa (entah ormas agama yang jadi perpanjangan tangan oligarki, atau watak militeristik yang bercokol di setiap individu yang hadir di cangkrukan).”
Pernyataan ini langsung disambut gelak tawa dari para peserta, menutup diskusi dengan suasana yang ringan namun penuh refleksi.