KABUPATEN GORONTALO – Dalam agenda Haul KH. Abdurrahman Wahid atau lebih akrab disapa Gus Dur yang ke-15, Komunitas GUSDURian Kabupaten Gorontalo menggelar Forum Demokrasi (Fordem) yang bertajuk “Taubat Ekologis: Lingkungan Sebagai Amanah Spiritual” di Aula Kantor Dinas Kesehatan Kabupaten Gorontalo, Sabtu (21-12-2024).
Demokrasi, pluralisme, Hak Asasi Manusia (HAM), keislaman, guyonan, dan perjuangan kemanusiaan, adalah hal-hal yang melekat pada sosok Gus Dur. Keadilan ekologis selaras dengan keadilan sosial, pasalnya keadilan sosial tidak mungkin terwujud di atas lingkungan yang rusak. Hubungan manusia dan alam layaknya sebuah metabolisme. Manusia berasal dari alam, melalui proses kerja, manusia mengolah alam guna melanjutkan kehidupan. Metabolisme di sini memiliki arti ekologis sekaligus sosial, di mana relasi manusia dengan alam yang kompleks saling terhubung satu sama lain.
Hal ini selaras yang disampaikan Nurain Lapolo selaku Direktur Jaring Advokasi Pengelolaan Sumber Daya Alam (Japesda) Gorontalo. Menurutnya, dalam pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA), pemerintah menyambut baik perubahan transformasi ekonomi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan mengurangi masyarakat miskin, yang didukung dengan kemajuan teknologi.
Pemerintah atau negara dalam hal ini, melakukan pemanfaatan terhadap alam untuk menunjang transformasi ekonomi tersebut. Akan tetapi, aliansi antara kuasa modal berwatak neoliberal dan kuasa negara berwatak feodal, maka terjadilah pengelolaan SDA secara berlebihan dan ekstraktif.
Kata Ain, dalam pengelolaan SDA itu sendiri tidak luput dari tiga jurang (istilah yang sering digunakan dalam persoalan lingkungan). Pertama, jurang ekologis: hubungan yang terputus antara manusia dan alam. Manusia telah mengesampingkan alam yang punya nyawa dan punya kehidupan yang sama dengan manusia.
Kedua, jurang sosial: hubungan yang terputus antara manusia dengan sesamanya. Dalam hal ini manusia mementingkan egonya sendiri mengeksploitasi alam sebanyak mungkin untuk kepentingan dirinya sendiri, tidak melihat bahwa alam seharusnya digunakan untuk kepentingan masyarakat, khususnya masyarakat marginal dan rentan.
Ketiga, jurang spiritual: hubungan yang putus antara manusia dengan dirinya sendiri. Dalam hal ini, manusia harus sadar dalam upaya perbaikan terhadap lingkungan hidup, terhadap alam dan sadar pada konsekuensinya dalam melakukan advokasi terhadap isu lingkungan.
“Ketiga jurang ini disebabkan oleh kumpulan institusi dan kumpulan banyak orang bahkan oleh negara itu sendiri. Secara kolektif kita menciptakan hasil yang tidak diinginkan oleh siapa pun. Maka perlu setiap kita mengenal peran dan tindakan yang kita lakukan agar kita bisa memengaruhi dan menginginkan hasil yang baik secara keseluruhan,” katanya.
Pada prinsipnya, lanjut Ain, dalam mengelola sumber daya alam berarti akan ada keterkaitan dengan generasi berikutnya, sehingga penting mengelolanya dengan praktik-praktik yang ramah lingkungan, bukan malah dengan praktik eksploitasi dan merusak alam.
Lebih dalam lagi, Nurain menyinggung persoalan lahan kritis dalam wilayah Gorontalo yang setiap tahun mengalami lonjakan luas lahan kritis bertambah. Hal ini tidak sebanding dengan upaya perbaikan yang dilakukan.
“Di Tahun 2021, luas lahan kritis di Gorontalo dalam hitungan persenan menunjukkan 40 persen dari luas wilayah Provinsi Gorontalo. Terakhir kemarin, kami mendapatkan data dari Dinas KLHK akan ada enam perusahaan kayu yang mendapatkan izin konsesi yang jumlahnya sampai ratusan hektar, hal ini makin menambah luas lahan kritis di Provinsi Gorontalo. Ini menjadi tantangan dan PR bersama,” jelas Nurain.
Menyentil soal perubahan iklim akibat dari perluasan lahan kritis tersebut, Nurain Lapolo menjelaskan bahwa indeks kualitas lahan dan indeks kualitas udara di Provinsi Gorontalo setiap tahun naik. Artinya, ada banyak lahan-lahan kita menghasilkan Co2 di udara. Entah itu aktivitas pertambangan, aktivitas perkebunan, aktivitas kendaraan termasuk aktivitas konsumsi makanan.
Ia juga menyoroti soal penumpukan sampah. Menurutnya, persentase terbesar sampah di Gorontalo adalah sisa makanan.
“Perbandingan 60 persen dan 40 persen. 60 persen sampah organik dan 40 persen sampah non-organik,” tutur Ain.
Sementara itu, dalam penyampaian narasumber kedua, Samsi Pomalingo, menjelaskan bahwa deforestasi dalam perspektif teologis bahwa kerusakan di muka bumi tidak semata-mata kehendak Tuhan, melainkan oleh ulah tangan manusia itu sendiri (human error). Dari persepektif ini katanya, ada tiga relasi yang terbangun, yakni relasi hablumminallah, hablumminannas, dan habluminalalam.
Samsi pun menjelaskan, dalam pandangan perspektif ilmu fikih, ada lima tujuan yang ingin dicapai oleh agama (hifz al-din: menjaga agama, hifdz al-nafs: menjaga jiwa, hifdz al-aql: menjaga akal, hifdz an-nasl: menjaga keturunan, hifdz al-mal: menjaga harta. Dalam Nahdlatul Ulama sendiri, kata Samsi, ditambahkan hifdz wathon: menjaga negara. Kalau dikaji lebih dalam, sebenarnya keenam nilai ini berkorelasi dengan alam.
“Kalau manusia merusak lingkungan itu bagian dari menodai agama, mencari harta dengan merusak lingkungan juga bagian dari menodai agama. Kalau tidak menjaga akal, kita akan merusak lingkungan dan menodai agama,” kata Samsi.
Lebih lanjut, Samsi Pomalingo yang akrab disapa Romo Samsi itu, menjelaskan dalam perspektif teologis bahwa Tuhan itu Al-Ghany atau Maha Kaya, sebenarnya arti yang tepat adalah Maha Cukup, artinya bahwa Tuhan tidak butuh apa-apa, yang butuh adalah manusia.
“Alam sebagai makrokosmos, dan manusia sebagai mikrokosmos, sudah seharusnya manusia dengan alam harus bisa mengisi satu sama lain. Alam bisa memberikan manusia segalanya, manusia harus bersyukur atas pemberian alam, maka bersyukur dengan tidak mengeksploitasi dan merusak alam,” ujarnya.
Terakhir, Romo Samsi menekankan bahwa pentingnya tokoh agama ikut andil dalam upaya menjaga lingkungan.
“Untuk forum takziah dan khotbah, perlu didorong menjadi media dakwah dengan tema isu lingkungan, misalnya budaya konsumerisme, transisi energi. Ini kan bisa kita lakukan melalui spirit dakwah melihat kultur masyarakat Gorontalo cukup religius. Maka, peran tokoh agama perlu berkolaborasi untuk mewarnai tema-tema dakwah dengan isu lingkungan,” pungkasnya.