Pram dan Gus Dur dalam Perjuangan Kemanusiaan Melawan Ketidakadilan

Ketika berbicara tentang pembebasan, dua nama besar yang muncul dalam sejarah bangsa ini adalah Pramoedya Ananta Toer dan KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Keduanya, meskipun berasal dari latar belakang berbeda—Pram sebagai penulis dan Gus Dur sebagai kiai serta pemimpin bangsa—berbagi satu semangat: melawan ketidakadilan dan memperjuangkan kemanusiaan. Pada momentum menjelang seabad Pramoedya (lahir 6 Februari 1925) dan haul ke-15 Gus Dur, kisah perjuangan keduanya tetap relevan untuk direnungkan.

Pramoedya dan Pena Perlawanan

Pramoedya, atau Pram, adalah seorang “pejuang pena” yang berani menantang arus. Melalui karya-karyanya, seperti Tetralogi Buru (Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca), ia menelanjangi wajah penjajahan, feodalisme, dan ketimpangan sosial. Ia percaya bahwa sastra bukan sekadar hiburan, melainkan alat pembebasan. Dalam pandangan Pram, seorang penulis memiliki tanggung jawab untuk berbicara tentang yang tertindas.

Namun, keberanian ini tidak datang tanpa risiko. Pada masa Orde Baru, Pram menjadi salah satu korban kebijakan represif rezim. Ditahan tanpa pengadilan selama 14 tahun di Pulau Buru, Pram terus menulis meski dibatasi dan diawasi. Tulisan-tulisannya menjadi saksi betapa pena mampu menjadi senjata perlawanan paling tajam, melampaui waktu dan penindasan.

Data menunjukkan bahwa sejak diterbitkan, karya-karya Pram telah diterjemahkan ke lebih dari 40 bahasa. Ini membuktikan universalitas pesan yang ia sampaikan: tentang martabat manusia yang harus diperjuangkan. Namun, dalam negeri sendiri, karya-karyanya sempat dicekal, mencerminkan ironi bahwa perjuangan melawan ketidakadilan kerap menghadapi resistensi dari penguasa.

Gus Dur dan Jalan Cinta Kemanusiaan

Berbeda dengan Pram, Gus Dur memilih jalan perlawanan yang lebih cair namun tak kalah tegas. Ia dikenal sebagai pembela mereka yang tertindas—minoritas, kelompok agama lain, atau bahkan orang-orang yang diabaikan oleh negara. Bagi Gus Dur, agama adalah alat pembebasan, bukan penindasan.

Salah satu momen penting perjuangan Gus Dur terjadi ketika ia membela kaum Tionghoa di Indonesia. Pada masa Orde Baru, ekspresi budaya Tionghoa dibatasi dengan kebijakan diskriminatif. Gus Dur, saat menjadi presiden, mencabut Inpres Nomor 14 Tahun 1967 yang melarang perayaan Imlek secara terbuka. Langkah ini tak hanya memulihkan hak-hak budaya warga Tionghoa, tetapi juga menyuarakan pesan lebih besar: bahwa keadilan tidak boleh eksklusif, melainkan harus merangkul semua.

Gus Dur juga menjadi tokoh yang gigih membela hak-hak kelompok minoritas agama, seperti Ahmadiyah dan Syiah. Ia kerap berkata, “Tidak penting apa agamamu, kalau kamu bisa berbuat baik kepada orang lain, orang tidak akan tanya apa agamamu.” Pernyataan ini menunjukkan bahwa bagi Gus Dur, kemanusiaan adalah inti dari segala perlawanan terhadap ketidakadilan.

Persamaan dan Keberlanjutan Perjuangan

Meskipun berangkat dari jalur yang berbeda, Pram dan Gus Dur memiliki persamaan mendasar: keduanya tidak pernah ragu berdiri di pihak yang tertindas. Baik Pram dengan penanya maupun Gus Dur dengan kebijakan dan teladannya, keduanya menantang status quo yang merugikan manusia.

Pram mengajarkan bahwa keberanian berbicara melalui tulisan mampu menggugah kesadaran kolektif. Gus Dur, di sisi lain, menunjukkan bahwa kemanusiaan bisa menjadi dasar kebijakan yang melampaui sekat-sekat identitas. Keduanya menyadarkan kita bahwa perjuangan melawan ketidakadilan bukan hanya tugas segelintir orang, melainkan kewajiban kita semua sebagai bagian dari masyarakat.

Namun, perjuangan mereka belum selesai. Data BPS menunjukkan bahwa pada 2023, tingkat ketimpangan pendapatan di Indonesia (rasio Gini) masih berada di angka 0,380, yang menunjukkan ketimpangan cukup signifikan. Selain itu, laporan Human Rights Watch (2024) mencatat masih adanya diskriminasi terhadap kelompok minoritas agama di beberapa daerah.

Refleksi dan Tantangan Masa Kini

Mengingat perjuangan Pram dan Gus Dur, kita dihadapkan pada pertanyaan besar: bagaimana melanjutkan narasi pembebasan mereka? Salah satu jawabannya adalah dengan melibatkan generasi muda. Pram pernah berkata bahwa “sejarah adalah guru kehidupan.” Membaca karya-karya Pram adalah langkah awal memahami kompleksitas ketidakadilan di negeri ini.

Sementara itu, Gus Dur memberikan pelajaran tentang keberanian bersikap. Di era post-truth seperti sekarang, di mana hoaks dan polarisasi sering mendominasi, semangat Gus Dur untuk berdialog dan mencari titik temu sangat dibutuhkan. Tidak ada gunanya berbicara tentang pembebasan jika kita sendiri terjebak dalam sikap eksklusif dan intoleran.

Sebuah Warisan Abadi

Pramoedya Ananta Toer dan Gus Dur adalah dua sosok yang, meskipun berbeda jalan, memberikan warisan penting tentang perjuangan kemanusiaan melawan ketidakadilan. Pena Pram dan langkah Gus Dur membuktikan bahwa pembebasan bukan sekadar retorika, melainkan aksi nyata yang membutuhkan keberanian, konsistensi, dan cinta kepada sesama manusia.

Menjelang seabad Pramoedya dan haul ke-15 Gus Dur, mari kita jadikan perjuangan mereka sebagai inspirasi untuk melawan ketidakadilan di sekitar kita. Karena, seperti kata Gus Dur, “Kemanusiaan adalah satu-satunya agama yang harus kita perjuangkan.” Sementara Pram mengingatkan, “Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah.”

Maka, tugas kita bukan hanya mengenang, tetapi melanjutkan. Sebab, perjuangan melawan ketidakadilan adalah perjalanan panjang yang tak mengenal akhir.

Ketua PAC Ansor Balen. Jamaah GUSDURian Bojonegoro, Jawa Timur.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *