Artis Hijrah dan Toleransi; Dua Entitas yang Berjalan Berlainan Arah

Bagaimana hubungan antara artis, fenomena hijrah dan toleransi? Kalau anda adalah salah satu penonton film “Crazy Rich Asian”, maka mungkin anda masih ingat scene yang mengambarkan betapa besarnya kekuatan media sosial menjadikan sosok Rachel Chu mendadak terkenal seantero Singapura. Sebagaimana akhir-akhir ini kita yang dihebohkan dengan perpisahan sepasang anak muda yang memviralkan diksi Ghosting.

Ya, begitulah apa yang terjadi dalam kehidupan kita sekarang. Setiap hari kita bisa berhadapan dengan kemampuan dari media sosial, yakni kapabilitas “menyaringkan” sesuatu. Kita juga pernah mengalami di isu Agama yang menjadi viral di tengah masyarakat, seperti kasus Ahok dan 212.

Menariknya, agama dan media sosial turut diramaikan juga dengan kehadiran influencer, sebagaimana fenomena di layanan jejaring sosial. Salah satu influencer Islamis adalah para artis hijrah. Mereka adalah para pesohor negeri ini yang telah mendeklarasikan diri untuk menjalankan ajaran Islam dengan taat, dan memiliki pengintil (baca: followers) yang banyak.

Sebelum lebih jauh, kita perlu mengetahui bahwa influencer adalah seorang yang memiliki kemampuan untuk memengaruhi orang lain karena kapasitas yang dimilikinya. Kapasitas tersebut dalam kasus para artis hijrah ini adalah kemampuan mempengaruhi pemirsanya, sebab mereka diikuti atau diduplikasi oleh banyak orang.

***

Berbicara terkait isu “Hijrah” dalam fenomena keislaman di Indonesia kontemporer, kita bisa dipastikan membincang kehadiran para artis yang telah ber-hijrah, terutama dalam kurun waktu terakhir. Nama-nama seperti Arie Untung, Teuku Wisnu, Peggy Melati Sukma, Dewi Sandra dan masih banyak adalah segelintir pesohor yang telah memilih untuk menjalankan agama Islam secara “taat”.

Adapun sekarang ini popularitas para artis “hijrah” tersebut turut mempengaruhi dinamika keberagamaan di Indonesia. Sebab, model-model kesalehan yang mereka praktikkan dan sodorkan di media sosial dikonsumsi secara luas dan diduplikasi oleh masyarakat.

Alhasil, “Hijrah” tidak lagi hanya soal model keberagamaan, tapi sudah menjadi tren atau gaya hidup di masyarakat Indonesia. Dengan berbagai model, mereka juga mulai menjadikan wacana hijrah memiliki nilai komersial di publik muslim Indonesia.

Biasanya, aktivitas keberagamaan mereka para artis hijrah tersebut mendapatkan perhatian masyarakat. Apapun yang diunggah oleh para pesohor tersebut, baik kata-kata, perilaku atau ritual keberagamaan, juga dapat mempengaruhi publik. Dan setelah itu, kesalehan mereka menjadi arketipe keberislaman di masyarakat.

***

Kembali ke soal artis hijrah, jika berbagai wacana yang dibagikan para artis tersebut dapat mempengaruhi pengintil (baca: followers) mereka, tentu menarik jika kita menelusuri bagaimana narasi relasi antar umat beragama diekspresikan dalam berbagai unggahan mereka. Sebab, pengaruh mereka bisa dibilang cukup bisa mewarnai dialog antar agama dalam model yang lebih populer.

Sebab, dari pengamatan atas narasi di media sosial para artis hijrah, kita bisa menelisik bagaimana relasi antar agama di kalangan mereka, dan bisa membantu kita untuk memahami bagaimana artikulasi wacana toleransi di kelompok Islamis populer. Hasilnya, lewat penelusuran umum yang saya lakukan atas beberapa akun media sosial para artis hijrah, didapati bahwa diskursus relasi antar agama di kalangan artis hijrah masih sering terpengaruh sudut pandang dari kelompok Islam Reaksioner.

Kondisi tersebut disebabkan kedekatan para artis tersebut dengan kalangan Islam Reaksioner, seperti Habib Rizieq Shihab (HRS) atau Felix Siauw. Wajar jika kemudian kita bisa melihat berbagai unggahan fatwa atau potongan ceramah dari kalangan Islam reaksioner di akun media sosial milik para artis tersebut.

Postingan para artis hijrah tersebut sangat dipengaruhi isu-isu yang sedang mengemuka di masyarakat, termasuk isu agama. Pandangan agama mereka yang telah terpengaruh kelompok Islam Reaksioner terutama wacana relasi antar agama tentu turut mempengaruhi bagaimana narasi tersebut dikonsumsi oleh publik.

Memang, masih jarang sekali para artis hijrah tersebut gamblang dalam mendedahkan sikap dan pikiran mereka dalam bersuara atas berbagai isu toleransi. Sebagaian besar mereka masih banyak bermain retorika.

Walau begitu, mayoritas unggahan media sosial mereka masih diwarnai dua wacana utama yang kontradiktif dalam relasi antar agama, yakni posisi Islam yang tertindas dan glorifikasi Islam di berbagai lini kehidupan. Hal ini kemungkinan besar disebabkan dipengaruhi kapasitas mereka sebagai pesohor sebelumnya, ditambah rata-rata posisi mereka yang masuk dalam kelas menengah.

Dus, perbincangan narasi toleransi di media sosial para artis tersebut jelas masih sulit ditemukan. Bisa dibilang mereka masih terlibat cukup aktif dalam narasi glorifikasi Islam atau wacana agama yang disikapi secara reaksioner, yang didedahkan secara retoris. Atau dalam bahasa lain, mereka setuju hidup bersama dengan kelompok lain, namun menghindari narasi toleransi yang berujung pada persamaan hak di tengah masyarakat.

Dalam buku “Islam dan Islamisme”, Bassam Tibi, Guru Besar di Universitas Gottigen, Jerman, menggambarkan fenomena para artis hijrah tersebut dengan istilah “Islamisme institusional”. Bagi TIbi, mereka adalah kelompok yang setuju dengan pemilu tetapi menghindari kebijakan kewarganegaraan atau pluralisme demokratis.

Kelompok tersebut, sebut Tibi, melakukan politik “Islamisasi merayap”, yakni langkah-langkah besar untuk masuk dalam berbagai proses politik untuk melemahkan atau mengganti produk konstitusi yang berpihak pada kewargaan dan politik demokratis. Saya menyitir teori tersebut untuk menjelaskan dinamika unggahan media sosial para artis hijrah tersebut memiliki modus yang sama, dengan teknik yang berbeda.

Dalam unggahan para artis hijrah lebih banyak beraroma penggiringan opini untuk menghadirkan Islam sebagai poros kehidupan yang lebih utama. Dengan mengusung narasi tersebut, para artis tersebut akan sulit berpihak pada hak warga negara yang setara. Hal ini terlihat ketika mereka menjadi pelaku aktif politisasi agama di kala Pilkada Jakarta lalu.

Arkian, kita perlu menyadari bahwa naik turun relasi antar agama di Indonesia bagai sinetron never ending, yang tidak diketahui bagaimana berakhirnya. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Carool Kersten, akademisi asal Amerika, dalam buku Berebut Wacana menyebutkan bahwaperbicaraan terkait isu tersebut masih belum menjumpai titik cerah sejak kemerdekaan.

Jika Kersten melihat kegamangan penguasa dalam menghadapi isu-isu rentan dalam relasi agama, maka hal yang sama kita di ranah sosial, sebab para artis yang menjadi influencer agama di media sosial masih terlibat dalam proses politisasi agama yang akut dan berhubungan dengan kelompok Islam reaksioner. Kalau kita mau berkaca dari fenomena yang digambarkan dalam film Crazy Rich Asians maka ranah dunia maya masih pekerjaan rumah yang masih menanti kita semua, karena diskursus agama masih rentan terseret pada narasi yang timpang karena didorong oleh para artis hijrah tersebut.

Fatahallahu alaina futuh al-arifin

Artikel ini sebelumnya ditayangkan di Islami.co

Pegiat isu-isu kedamaian dan sosial di Kindai Institute di Banjarmasin.