Bulan Ramadhan dan Puasa Plastik Untuk Menjaga Lingkungan

Minggu lalu saya mengikuti sesi daring perkenalan Ecobrick Indonesia, bagian dari jaringan Global Ecobrick Alliance (GEA), gerakan menyelamatkan lingkungan dengan bertanggung jawab atas plastik yang kita pakai dan konsumsi sendiri. Plastik-plastik tersebut kita simpan dengan cara dimasukkan ke botol dengan kepadatan penuh untuk menghasilkan berat tertentu sehingga hasilnya nanti dapat dimanfaatkan sebagai brick/bata.

Dimanfaatkan untuk apa? Untuk pagar, taman, kursi, meja, dan instalasi lainnya, saat ini kreasi terus berkembang. Bagian terpenting dari proses ini, kita bertanggung jawab atas plastik yang kita konsumsi, menyelamatkan plastik agar tidak mencemari lingkungan dan merusak kehidupan.

Penggerak Ecobrick di Indonesia adalah pasangan Russel Maier dan Ani Himawati. Russel seniman dan aktivis lingkungan berkewarganegaraan Kanada dan Ani, pekerja sosial asli Indonesia. Ani adalah teman baik yang saya kagumi.

Gerakan ini lahir dan bermula di daerah terpencil di wilayah Pegunungan Filipina Utara. Berangkat dari keprihatinan Russel atas plastik dan botol yang ia dan masyarakat sekitar konsumsi ternyata berakhir di Sungai Chico, tempat anak-anak berenang dan laki-laki memancing. Eksperimen dan pencariannya bertemu dengan upaya di Amerika Tengah yang memanfaatkan botol dan pasir.

Ia terus bereksperimen dan bertemu dengan orang lain dengan ide sama di belahan bumi lain di Afrika Selatan, dan Amerika Tengah dan Utara sehingga menemukan formula yang sekarang ini digunakan. Gerakan ini kemudian berkembang selain di Indonesia, Vietnam, UK (Inggris) dan banyak negara lainnya.

Masalah plastik memang masalah yang serius.

Satu juta botol plastik dikonsumsi setiap menit begitu laporan wartawan The Guardian di tulisan ini. Lebih dari 480 milyar botol plastik dijual di tahun 2016 di seluruh dunia. Jika disusun sambung menyambung mungkin tingginya setengah lebih mencapai matahari. Jumlah tersebut akan meningkat menjadi 583.3 milyar pada tahun 2021 berdasarkan estimasi yang dilakukan oleh Euromonitor International.

Laporan tersebut juga menyebutkan sebetulnya botol plastik yang digunakan untuk minuman dan juga air mineral dibuat dari polyethylene terephthalate (Pet), yang ramah daur ulang.

Namun karena penggunaannya sangat tinggi di seluruh dunia, upaya untuk mengumpulkan dan daur ulang botol-botol tersebut hanya 7% berhasil, sisanya dibuang ke pembuangan sampah (land fill) atau ke laut. Diperkirakan 5 sampai 13 juta ton plastik bocor ke laut setiap tahunnya dan dihirup oleh burung laut, ikan, dan organisme lain. Tahun 2050 diperkirakan laut dipenuhi dengan beratnya plastik daripada ikan.

Menyedihkan lagi, menurut penelitian yang dilakukan oleh Jenna R. Jambeck dari University of Georgia, Indonesia merupakan negara dengan jumlah pencemaran sampah plastik ke laut terbesar di dunia setelah Tiongkok yaitu sebesar 1.29 ton per tahun. Laut yang tercemar ini, diperkirakan telah masuk di rantai makanan manusia. Ilmuwan dari Universitas Ghent di Belgia memperkirakan orang yang makan seafood menghirup 11.000 potongan plastik setiap tahun.

Pada bulan Ramadhan, biasanya sampah plastik semakin meningkat. Hal ini karena saat bulan Ramadhan sampah semakin meningkat. Sampah tersebut biasanya berupa sisa makanan dan kemasan makanan, yang salah satunya adalah plastik.

Banyak penelitian telah dilakukan menunjukkan dampak limbah plastik bagi kesehatan manusia. Kanker, gangguan sistem syaraf, pembengkakan hati, radang paru adalah beberapa jenis penyakit yang terdengar mengerikan bagi keberlangsungan hidup manusia.

Kampanye telah gencar dilakukan termasuk menggugah kesadaran bagaimana plastik, mikro-plastik bukan hanya membahayakan ekosistem lingkungan namun sampai pada tahap mematikan organisme, makhluk hidup lain terutama di laut, yang pada akhirnya berdampak besar bagi manusia dan rantai kehidupannya.

Kampanye ini berhasil, selain masuk dalam agenda Sustainable Development 2030 untuk pencapaian target mengurangi limbah plastik di laut, juga kebijakan penerapan pajak, pembatasan sampai pelarangan plastik sekali pakai dengan penambahan biaya, dst. Sayangnya kebijakan ini sering tidak tegas dan berjalan konsisten juga tidak diiringi dengan perubahan perilaku kita.

Persoalan plastik juga tidak cukup hanya dengan membawa reusable bag (tas yang dapat digunakan berkali-kali), karena elemen plastik ada banyak di setiap elemen kehidupan kita. Coba kita sebutkan paling tidak lima benda berunsur plastik yang berada tidak lebih satu meter dari kita, saya jamin pasti jumlahnya lebih. Artinya ia telah menjadi bagian dari kita, bagian dari industri besar di luar kuasa kita.

Intinya adalah bagaimana kita memperlakukan plastik. Soal perubahan perilaku. Itulah yang sedang dibangun dan ditularkan oleh gerakan Ecobricks.

Sebelum mengenal inisiatif ini, saya berupaya untuk mengelola sampah organik dan non-organik rumah tangga dengan cara salah satunya membuat land fill di halaman samping rumah untuk membuang sampah-sampah organik seperti daun-daun pohon, sisa makanan, sampah sayur-sayuran, dst. Tempat sampah di dalam rumah dipisahkan. Perlu beberapa waktu bagi anggota rumah untuk membiasakan. Tidak jarang sering tertukar atau lupa.

Setelah mengenal Ecobricks, berupaya menyimpan plastik yang dikonsumsi. Di akhir minggu biasanya saya mengeluarkan beberapa lembar plastik yang saya simpan di tas kerja. Begitu juga selalu berusaha membawa tas belanja atau wadah sendiri ketika membeli apa pun. Kebiasaan ini juga tidak mudah, terkadang penjual yang justru bersikeras memberikan plastik walaupun kita telah jelaskan. Pernah berbelanja di supermarket, saya berikan tas plastik bekas pakai, pelayan kasir serta merta membuang plastik tersebut karena mengira saya minta untuk membuangnya karena terlihat sudah lecek! Padahal permintaan jelas, “tolong gunakan plastik ini.” Perubahan perilaku memang membutuhkan waktu lama, upaya yang terus menerus. Karena ini menyentuh hal yang paling mendasar, kesadaran individu, diri sendiri.

Untuk Ecobricks, setiap plastik dan juga botol plastik, apa pun itu, yang kita konsumsi kita kumpulkan dan simpan. Prinsipnya plastik harus kering, jika basah harus dikeringkan terlebih dahulu. Misalnya plastik bekas bungkus makanan basah atau yang lainnya. Kita mesti cuci dan keringkan terlebih dahulu sebelum disimpan dan digunakan sebagai bahan. Repot? Iya cukup merepotkan. Tapi seperti halnya jika kita berkomitmen untuk hal lain terkadang juga merepotkan bukan?

Plastik-plastik yang kering tersebut lalu dimasukkan ke dalam botol, dimampatkan sampai ke dasar, jangan sampai ada rongga udara untuk menghasilkan berat tertentu. Ada rumus yang digunakan, berat minimal volume botol x 0.33. Jika volume botol 600 ml x 0.33= 198 dibulatkan menjadi 200.

Selama kurang lebih hampir dua bulan ini saya telah menghasilkan kurang lebih 10 Ecobricks dalam botol dengan volume 600 ml. Jadi kurang lebih saya telah menyelamatkan plastik sebanyak dua kilogram! Untuk botol, sebaiknya dari jenis dan ukuran yang sama agar dapat dimanfaatkan lebih lanjut.

Menariknya gerakan ini mengembangkan aplikasi online GoBrik di mana setiap individu/kelompok bisa mendaftarkan informasi berapa Ecobricks yang telah dikerjakan. Jadi kita bisa melihat sejauh mana hasilnya. Aplikasi ini selain untuk informasi juga berjaringan dengan para penggiat Ecobricks di seluruh dunia.

Dari informasi terbaru yang saya lihat di GoBrik, sampai saat ini terdapat 68.418 Ecobricks yang telah dimasukkan oleh 41.295 pengguna dari 149 negara. Ini artinya terdapat 23.736.02 kilogram plastik yang berhasil diselamatkan dari bumi termasuk mengamankan dari CO2 plastik. Bayangkan jika jumlah tersebut dari Indonesia saja, bisa mengalahkan jumlah sampah yang mencemari laut Indonesia seperti data yang disebutkan di atas.

Lebih menarik lagi gerakan ini tidak berafiliasi atau didukung oleh pendanaan organisasi tertentu. Gerakan yang secara organik berkembang dan digerakkan karena kesadaran diri sendiri untuk melakukan sesuatu. Ini seperti gerakan kebaikan. Tak terlihat tapi penuh daya kekuatan karena membantu hidup sesama. Dan itulah esensi gerakan genuine yang dibangun.

Dalam situasi wabah Covid-19 ini, mungkin jumlah sampah plastik akan semakin bertambah karena konsumsi pemesanan dan belanja online. Mungkin saatnya kita bisa memulai menyelamatkan plastik-plastik bungkus itu agar tak mengalir sampai jauh. Dan pedoman teknik berecobrick di masa Covid-19 tersedia di sini.

Semangat puasa Ramadhan saat ini juga seperti mengingatkan kita untuk berubah, melakukan sesuatu yang berbeda. Wabah ini seharusnya semakin menyadarkan bahwa betapa pentingnya menjaga lingkungan dan organisme di dalamnya dengan memulai dari diri sendiri seperti yang diajarkan nabi ibda’ bi nafsika.

Agama bertujuan mendasar mengajarkan kebaikan dan menentramkan jiwa. Kebaikan yang menyeluruh, bagi manusia, lingkungan dan alam semesta. Dan bagaimana kita bisa beribadah untuk jiwa bisa tentram jika lingkungan kita rusak.

Sebab jelas difirmankan dalam al-Qur’an, bahwa “telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)” (QS. Ar Ruum: 41).

Sumber: islami.co