30 September merupakan hari yang kelewat kelam dalam gerak kehidupan dan kesejarahan kita berbangsa. Pangkalnya, rantai ingatan tentang prosesi pembantaian jenderal-jenderal di Lubang Buaya pada tahun ’65 amat membekas dalam setiap pikiran generasi penerus bangsa sampai hari ini. Seperti biasa, ada yang memahaminya dalam bingkai kritis juga dogmatis.
Di satu sisi kita melihat kutub revisonis-kritis yang menginginkan pembaharuan narasi kesejarahan kala itu sebab secara ilmiah dinyatakan bahwa narasi dominan, yang dilanggengkan kekuasaan, menyimpan banyak sekali kebohongan dan kontradiksi. Maka pelurusan sejarah adalah jalan yang mesti ditempuh.
Di lain sisi muncul kutub yang melanggengkan narasi kesejarahan cacat dari agen Orde Baru yang sengaja menghidupkan kembali labeling PKI sebagai hantu yang patut untuk diwaspadai. Konsekuensi logis dari kutub ini adalah konflik horisontal akar rumput dalam memahami preferensi politik-pemikiran kelompok atau individu.
Kita mudah menemui di timeline media sosial tentang fenomena masyarakat ketika ada yang tidak setuju dengan formalisasi agama dengan mudah disebut PKI, hingga masyarakat yang memberi kritikan terhadap kinerja pemerintah “yang begini-begini saja” tak luput dari labeling ini. Sungguh kejam!
Kita patut mempertanyakan, mengapa isu yang berulang seperti ini tak kunjung menemui jalan terang dan bahkan sengaja direproduksi setiap tahun ketika menjelang hari Hari Kesaktian Pancasila? Apa yang dikatakan Gramsci boleh jadi benar bahwa setiap narasi (meskipun basi) yang sengaja direproduksi bersumber dari aktor-aktor yang sengaja ingin menghegemoni kesadaran kita.
Boleh jadi luapan narasi yang berangkat dari kutub kedua mengenai kejadian sebenarnya tentang “pembantaian” sengaja untuk mengaburkan sisi konkret menyoal apa dan bagaimana sikap kita seharusnya sebagai generasi bangsa. Selanjutnya, kita hanya disibukkan untuk menilai sekeliling dengan tuduhan kejam berikut mewarisi kebenciannya alih-alih menuju kesadaran rekonsiliasi yang sebenarnya.
Sejauh ini kita dapat belajar dari sosok Gus Dur yang sejak awal memberi atensi besar untuk mengawal perlunya pelurusan sejarah. Ketika menjabat sebagai presiden, pertama, secara terbuka ia meminta maaf terhadap keluarga korban genosida 65-66 yang kemudian secara terbuka ditanggapi oleh Pram dalam tulisannya yang berjudul “Maaf, atas Nama Pengalaman”. Kedua, menginisiasi penghapusan TAP MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 tentang Larangan Ajaran Komunisme/Marxisme, meskipun gagal.
Lalu apa semangat yang dapat kita warisi, sebagai masyarakat biasa dan warga negara, dari pilihan politis Gus Dur ini?
Dekonstruksi Maaf dan Memaafkan
Semangat untuk melanjutkan nilai yang diupayakan oleh Gus Dur ini perlu ditinjau ulang melalui nalar dekonstruksi Derrida, yang secara sederhana dapat kita pahami sebagai upaya untuk mendeskripsikan ulang dan sekaligus mentransformasikannya dalam wajah yang lebih konkret di kehidupan. Menurut Derrida tafsir atas realitas terkadang mengalami kebekuan dan kehilangan ruhnya.
Kita dapat memulainya dari pemahaman kita atas maaf dan permintaan maaf. Apakah keduanya selalu menjadi simbol upaya rekonsiliasi dari hal yang (mungkin) tidak seharusnya terjadi? Biasanya berbentuk kesalahan. Dengan begitu kita bisa saling sampai kepada nilai. Atau hanya menjadi justifikasi syarat pembalasan dan karma? Sebab dalam realitasnya banyak dari kita yang memaafkan tapi dalam waktu yang bersamaan juga menginginkan hal buruk terjadi kepada si peminta maaf.
Dalam hal ini upaya rekonsiliasi dengan meminta maaf dan memaafkan atas kejadian masa lalu yang kelam berikut terhadap para keluarga korban yang di stigma dengan PKI, apakah benar menjadi simbol keadilan sekaligus pemutusan rantai kebencian yang sengaja diwariskan kepada kita sebagai generasi penerus? Atau hanya gimmick belaka seperti ketika kita meminta maaf kepada pacar?
Konsekuensi logis dari pemahaman “maaf” yang substansial ini mengarahkan kita pada perilaku konkret berupa upaya untuk memenuhi hak keadilan kepada para korban dan keluarga korban genosida. Hal ini tercermin pada upaya Gus Dur untuk menghapus TAP MPR yang menurut Gus Dur tak sejalan dengan prinsip keadilan yang tercermin dalam UUD 1945. Di lain sisi pemahaman atas “memaafkan” bukan hanya menuntut pengucilan terhadap generasi yang distigma sebagai penerus PKI melainkan secara terbuka mengakui bahwa mereka menjadi warga negara yang berhak mendapatkan hak-hak hidup dan bernegara.
Lebih dari itu, bahwa pemberangusan simpatisan PKI dan TAP MPR juga mengakibatkan tabunya pemikiran kritis di kalangan penerus bangsa hari ini. Minimnya aktor yang setia mengimani pikiran kritis berasal dari ketakutan akan stigmatisasi, bahkan hanya untuk sekedar mempelajarinya saja. Akhirnya, narasi mainstream otoritas intelektual kita jarang yang menggunakan pendekatan kritis perspektif Marxian dan penerus-penerusnya. Artinya, spektrum politik dalam demokrasi kita tidak benar-benar demokratis (berat sebelah).
Benar, bahwa di sini meminta dan memberi maaf terasa begitu berat. Namun bagaimana mungkin sebuah upaya rekonsiliasi yang sebenarnya memiliki nilai yang substansial terlebih untuk generasi bangsa justru terhenti oleh nalar pemahaman kita sendiri yang tidak adil.
Sebagaimana yang diinisiasi oleh Gus Dur, bahwa upaya rekonsiliasi ini perlu untuk dilanjutkan agar rantai luka atas kesalahan yang terkadang tidak selalu paralel dengan yang kita pahami, benar-benar terputus sama sekali tanpa menyisakan pretensi balas dendam ataupun keburukan apa pun. Dengan begitu keadilan dapat tercapai.
Gus Dur telah meneladankan, saatnya kita melanjutkan!