Umat Islam di Indonesia tidak bisa lepas dari majelis taklim. Tempat pengajaran agama bagi orang dewasa ini seakan menjadi ciri khas bangsa Indonesia. Jumlah majelis taklim di Indonesia mencapai lebih dari 50.000.
Majelis taklim dianggap sebagai wadah non-formal untuk belajar agama, sehingga hampir di setiap masjid atau organisasi keagamaan memiliki binaan majelis taklim. Kuantitas yang besar ini menunjukkan bahwa peran strategis majelis taklim sangatlah besar. Pembangunan literasi keagamaan, peningkatan pemahaman dan pengamalan agama, serta menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dapat dilakukan melalui majelis taklim.
Uniknya, perkembangan majelis taklim identik dengan kaum perempuan. Majelis taklim berkembang bukan saja sebagai lembaga pendidikan keagamaan. Namun, majelis taklim telah menjadi fasilitas dan pengembangan peran publik perempuan. Ranah publik keagamaan perempuan terjadi pada bidang sosial keagamaan, pemberdayaan ekonomi umat, dan penguatan moderasi beragama. Sehingga, perempuan tidak bergumul pada ranah domestik semata, tetapi sekaligus berperan untuk keagamaan bagi masyarakat perkotaan modern.
Namun, apakah majelis taklim berhasil menghilangkan hierarki gender? Meminjam istilah Peter L. Berger bahwa ada konstruksi sosial yang dibangun dalam masyarakat. Konstruksi sosial inilah yang menempatkan perempuan sebagai subordinasi laki-laki hingga di era digital saat ini. Proses eksternalisasi, objektivasi, dan internalisasi seakan mengabadikan bahwa perempuan tetap pada subordinasi laki-laki. Walaupun berbagai kajian gender dan kebijakan negara telah dilakukan, tetapi stock of knowledge masih sulit menempatkan peran gender yang seimbang antara laki-laki dan perempuan pada bidang budaya sosial (social culture).
Proses eksternalisasi terjadi ketika pemahaman secara individu-subjektif menetapkan (dengan stock of knowledge-nya) bahwa keberadaan perempuan dalam ranah domestik sudah dianggap “wajar”. Perempuan di ranah domestik dianggap budaya yang lebih baik, bahkan disebut sebagai bentuk pengabdian mulia dan wujud kesalehan sosial.
Selanjutnya, pemahaman subjektif berintegrasi dengan pemahaman subjektif yang lain sehingga terjadi pemahaman kolektif (collective understanding) untuk bersama meng-amin-kan perempuan pada posisi kedua. Walaupun, secara fakta ada beberapa perempuan mampu bekerja di ranah publik dan bahkan memimpin sebuah lembaga dan organisasi. Tetapi, keterbatasan mengakses pendidikan dan kemampuan ekonomi telah menjadikan budaya perempuan tetap rela pada subordinasi laki-laki.
Kondisi ini kemudian dimaknai kembali melalui sosialisasi dan disebut sebagai proses internalisasi. Ada ruang politic society dan culture society yang mendorong bahwa laki-laki mendominasi perempuan. Pendidikan, ekonomi, politik, hukum, dan bahkan agama mendorong perempuan agar lebih baik berkontribusi pada ranah non-publik.
Beberapa narasi dari hukum dan agama telah berpengaruh kuat dalam sosialisasi terkait gender ini. Konsep suami yang identik dengan kepala (pemimpin) keluarga dan istri ditempatkan sebagai kepala rumah tangga telah jelas dalam regulasi perkawinan di Indonesia. Pemahaman ekstrem terhadap teks agama mendorong kekerasan dalam rumah tangga dan bahkan menutup rapat perempuan di ranah publik. Kondisi ini akan memperparah perempuan sebagai korban kejahatan pada lingkup keluarga atas nama agama.
Lalu bagaimanakah kontribusi majelis taklim sebagai ruang publik bagi perempuan?
Penguatan ideologi familialisme dan aktualisasi diri di ruang publik adalah reaksi nyata dari majelis taklim. Perempuan baik (salihah) diukur dengan kondisi kepribadian ketika menjadi ibu (bagi anak) yang penyayang, dan istri (bagi suami) yang taat. Transfer pengetahuan agama yang terjadi di majelis taklim menjadi sebuah spirit baru dalam beragama yang semakin peduli (adaptation) terhadap keluarga. Narasi yang dibangun pun akan diperkuat dengan narasi dan tafsir agama yang melanggengkan keselarasan dan keharmonisan (order) kehidupan. Keluarga menjadi ruang wacana dan aksi kesalehan perempuan pada ranah privat sebagai modal awal (integration) untuk memiliki kesalehan pada ruang publik sekaligus.
Ruang majelis taklim menunjukkan bahwa agama menjadi spirit dan modal kemajuan partisipasi perempuan di ruang publik. Perempuan didorong ikut serta dalam pembangunan bangsa dan peran publik yang luas. Majelis taklim yang dikawal perempuan terus berinovasi mengatasi problem umat terutama pada bidang pendidikan keagamaan, peningkatan ekonomi, pendidikan umat, dan kepedulian terhadap lingkungan. Ini sekaligus menunjukkan strategi kekuatan meruntuhkan hieraki gender melalui majelis taklim. Namun, perempuan yang berada dalam ruang publik tidak otomatis mampu meruntuhkan dominasi laki-laki. Hal ini karena egalitarianisme belum mesti didukung dengan sistem sosial (social system) yang ada di masyarakat.
Pada sisi lain, majelis taklim berusaha mempertahankan sistem sosial (laten paten maintenance) yang telah ada. Nilai-nilai agama, budaya, dan tradisi yang ada terus dilanggengkan melalui majelis taklim. Proses penanaman nilai-nilai ini identik dengan proses sosialisasi agar sistem yang telah ada dapat dipertahankan. Kegagalan dalam mempertahankan penanaman nilai ini akan berdampak pada keutuhan hubungan sosial.
Oleh sebab itu, majelis taklim selalu menekankan komitmen sebagai bentuk janji, tanggung jawab, dan kesetiaan dalam mengikuti nilai dan norma yang ada. Sehingga, sebuah budaya dan perilaku sosial yang tidak sesuai dengan budaya masyarakat dan nilai agama dapat ditolak oleh anggota (perempuan) majelis taklim. Singkatnya, agama melalui majelis taklim telah memberikan kesempatan perempuan di ranah publik. Majelis taklim telah menjadi wadah bersosialisasi dan aktualisasi diri perempuan. Namun, sayangnya aktualisasi publik tersebut masih terbatas karena terikat oleh nilai-nilai sistem sosial terutama agama dan budaya.