Social Media

Menjadi Muslim Ramah, Menjaga Nilai-Nilai Wasathiyah

Problematika Indonesia dewasa ini sudah menyasar ke berbagai sisi kehidupan. Diantaranya, merebaknya virus ekstremisme-kekerasan yang mengatasnamakan agama kian marak. Sejarah telah mencatat bahwa Islam terpecah menjadi beberapa golongan karena berlatar belakang persoalan ini.

Bahkan, para penyebar virus ekstremisme-kekerasan ini sudah mempunyai perangkat yang sistemik untuk memecah belah bangsa. Sudah saatnya Islam wasathiyyah hadir dalam rangka menangkal segala bentuk ekstremisme-kekerasan berlabel agama di bumi pertiwi ini. Diantara jalan strategisnya adalah dengan mengamalkan nilai-nilai wasathiyyah dalam kehidupan berkebangsaan sebagai antivirus ekstremisme-kekerasan.

Jika kita buka lembaran sejarah, wasathiyah lahir dari rahim peradaban dan pemikiran Islam yang tentunya tidak berangkat dari ruang kosong. Wasathiyah adalah sebuah paham Islam moderat yang mengusung Islam ramah dan rahmah. Paham mini hadir seiring dengan maraknya pemahaman Islam fundamentalis yang cenderung membawa misi kekerasan.

Dalam wadah kebangsaan Islam wasathiyah mempunyai beberapa nilai, diantaranya pertama tawasuth dan i’tidal. Tawasuth yaitu sikap moderat yang berpijak pada prinsip menempatkan diri dalam posisi di tengah-tengah (moderat) antara dua ujung tatharruf (ekstremisme). Ini berlaku dalam berbagai masalah dan keadaan. Sementara, i’tidal berarti tegak lurus, berlaku adil (al-adl). Artinya, tidak berpihak kecuali kepada yang benar. Keadilan ini harus selalu ditegakkan.

Kedua, tasamuh (toleransi) yaitu sikap toleran yang berarti penghargaan terhadap perbedaan pandangan dan kemajemukan identitas budaya masyarakat. Aneka pikiran yang muncul dan tumbuh di tengah masyarakat muslim adalah sebuah keniscayaan dan selayaknya mendapat pengakuan. Sikap terbuka yang demikian lebar untuk menerima segala jenis perbedaan pendapat.

Toleransi harus selalu kita terapkan, terlebih dalam kehidupan beragama. Indonesia merupakan negara yang heterogen (plural), dimana keberagaman adalah suatu keniscayaan. Oleh karenanya, sikap toleransi merupakan hal penting untuk berinteraksi dalam kebhinnekaan ini. Tanpa sikap toleransi ini, hubungan antar agama akan menjadi keruh, merasa paling benar, mau menang sendiri, serta bisa dipenuhi konflik dan pertikaian.

Ketiga, tawazun (berimbang) yang mengandung maksud sikap seimbang dalam berhikmat demi terciptanya keserasian antara hubungan Allah SWT dengan manusia. Sikap fanatik yang berlebihan akan memicu klaim bahwa golongan dan atau pendapatnya suatu individu/kelompok adalah yang paling benar, sehingga selain itu dianggap salah dan sesat.

Keempat, amar ma’ruf nahi mungkar yaitu dua sendi yang mutlak sangat diperlukan untuk menopang tata kehidupan yang diridhoi oleh Allah SWT. Amar ma’ruf memiliki arti mengajak serta mendorong perbuatan baik atau bermanfaat bagi kehidupan duniawi dan ukhrowi.

Sedangkan, nahi munkar adalah menolak dan mencegah segala hal yang dapat merugikan, merendahkan, dan menjerumuskan nilai-nilai kehidupan. Dalam menjalankan kedua hal tersebut, harus senantiasa ditanamkan dalam kehidupan lahiriyah ataupun bathiniyah.

Harapannya, dengan adanya pengamalan nilai-nilai Islam wasathiyyah tersebut dalam kehidupan berkebangsaan, segala bentuk ekstremisme-kekerasan bisa kita redam dan dibumihanguskan. Di bumi pertiwi ini, tidak ada tempat sejengkal pun bagi seseorang atau kelompok yang menebar permusuhan, pemecah belah bangsa, dan gerakan radikalisme.

Takmir Masjid Kagungan Dalem Lempuyangan, Yogyakarta.