Social Media

Peringati HUT RI Ke-77, GUSDURian Banjarmasin bersama STT GKE Banjarmasin Selenggarakan Dialog dan Pentas Budaya di Forum 17-an

Memperingati HUT RI ke-77, GUSDURian Banjarmasin bersama Sekolah Tinggi Teologi Gereja Kalimantan Evangelis (STT GKE) Banjarmasin gelar “Dialog dan Pentas Budaya” dengan tema “Kemerdekaan dalam Keberagaman”, di Aula STT GKE Banjarmasin, (19/8).

Kegiatan ini merupakan bagian dari Forum 17-an yang dilaksanakan secara serentak oleh seluruh komunitas GUSDURian seluruh Indonesia.

Sugiharto Hendrata (PSMTI Kota Banjarmasin dan GUSDURian Kalsel), Arief Budiman (mahasiswa pascasarjana Ilmu Tasawuf UIN Antasari Banjarmasin sekaligus koordinator GUSDURian Banjarmasin), dan Enta Malasinta Lantigimo (dosen STT GKE) menjadi narasumber pada kegiatan ini. Dialog dimoderatori oleh Latifah, penggerak GUSDURian Banjarmasin.

Di samping dialog, ada persembahan pentas budaya yang ditampilkan oleh para mahasiswa STT GKE dan penggerak GUSDURian Banjarmasin. Beberapa penampilan tersebut antara lain tari tradisional Dayak Bawu Dadas, Karungut (seni bertutur semacam pantun atau syair yang disampaikan dalam bahasa Dayak), Tumet Leut (budaya bernyanyi atau bertutur dengan menggunakan bahasa Pangunraun atau Sastra Kuno Dayak Maanyan), berpantun, dan musikalisasi puisi.

“Forum 17-an bertujuan untuk memperingati hari lahir Gus Dur dan kemerdekaan Indonesia serta menyebarkan nilai, pemikiran, dan keteladanan Gus Dur tentang kemerdekaan dan kesetaraan”, ujar Nur Ana Mila, penggerak GUSDURian Banjarmasin dalam sambutannya.

“Gus Dur memahami kemerdekaan yang telah dicapai lebih berupa proses perjuangan menantukan nasib sendiri. Kemerdekaan adalah hak yang mendasar bagi setiap manusia, yang mana harus selalu bergandengan dengan rasa persaudaraan dan persamaan hak. Itu juga yang menjadi tagar pada acara hari ini #BedaSetara #MerdekaAdalahSetara”, tutur Arief.

Sugiharto Hendrata menyampaikan potret pejuang Tionghoa (Liem Koen Hian, Christine, dan Lie Ki Ming) yang terlupakan dalam konteks kemerdekaan Indonesia di tanah Kalimantan.

Dalam konteks lokal Banjarmasin, Enta meminjam analogi “jembatan” dari Amin Abdullah saat berada di Banjarmasin. Jembatan sebagai penghubung sungai Martapura ini menghubungkan masjid, gereja, klenteng, dan vihara. Jembatan menjadi penghubung terhadap realitas keberagaman.

“Kita bisa memilih untuk membangun jembatan atau membangun tembok. Sikap positif dalam menyikapi keberagaman adalah dengan membangun jembatan,” terang Enta.

“Terima kasih kepada Gus Dur dengan warisannya yang masih ada sampai sekarang. Gus Dur dikenal sebagai bapak pluralitas dengan sembilan nilai utamanya yang semuanya sangat baik,” ucap Sudianto, Ketua STT GKE.

Penggerak Komunitas GUSDURian Banjarmasin, Kalimantan Selatan.