Salah satu tema yang diperbincangkan oleh Gus Dur namun sering kali luput dari perhatian publik -dan juga para akademisi- ialah mengenai arsitektur. Dalam sebuah tulisan berjudul “Kebangkitan Kembali Peradaban Islam: Adakah Ia?” yang ditulis pada tahun 1985 lalu, Gus Dur menyoroti salah satu warisan peradaban Islam klasik (abad pertengahan) yang menurutnya relevan untuk direaktualisasikan di era kontemporer saat ini. Sebagai informasi, Gus Dur membagi warisan peradaban Islam klasik menjadi dua kategori besar, yakni warisan material yang ia asosiasikan sebagai karya arsitektural sebagaimana nampak pada masjid-masjid megah semacam Taj Mahal dan Masjid Pualam Biru di Turki. Pada sisi yang lain Gus Dur menyebut pula warisan imaterial diwakili oleh tradisi keilmuan yang tersimpan dalam berbagai karya para cendekiawan Muslim dari berbagai bidang.
Tulisan ini tidak akan mengelaborasi mengenai warisan imaterial berupa karya-karya ilmiah cendekiawan Muslim, tetapi berfokus pada elaborasi pandangan Gus Dur tentang warisan arsitektural peradaban Islam. Gus Dur mencermati dalam peradaban Islam klasik, ada kecenderungan untuk memaknai tradisi arsitektural Islam dalam kerangka “teosentrik” yang menurutnya terlihat dari asosiasi tradisi arsitektur Islam dengan arsitektur masjid. Lebih jauh menurut Gus Dur, warisan model arsitektur masjid yang dicirikan dengan kemegahannya tersebut (seperti Masjid Taj Mahal) kurang relevan untuk direaktualisasi di era kontemporer saat ini.
Sebaliknya, Gus Dur ingin mengajak pembaca artikelnya untuk melihat warisan arsitektur Islam tidak hanya dalam kerangka pemaknaan “dominan” tersebut, tetapi menemukenali kecenderungan lain yang eksis dan bagi Gus Dur lebih relevan untuk direaktualisasikan di era kontemporer saat ini. Kecenderungan pemaknaan “non-dominan” inilah yang menurut Gus Dur tercermin -salah satunya- dari model arsitektur Gurnah di Mesir. Konsep Gurnah sendiri menurut Gus Dur merujuk pada sistem spasial berupa kampung klasik di Mesir yang indah dan tertata rapi yang membuat Napoleon terkagum-kagum.
Berbeda dengan arsitektur masjid yang lebih berorientasi kepada dimensi Ketuhanan (teosentrisme), konsep Gurnah ini lebih relevan untuk diaktualisasikan karena ia -setidaknya di mata Gus Dur- beorientasi pada dimensi manusia (antroposentrisme). Tidak mengherankan Gus Dur menaruh kekagumannya pada arsitektur Mesir, Hassan Fathi. Dikenal sebagai arsitek yang dekat dengan kaum papa, Fathi mengambil inspirasi dari model Gurnah tersebut untuk menginisiasi proyek Gurnah Baru (The New Gourna) di dekat wilayah Luxor, Mesir.
Proyek Gurnah Baru ini adalah proyek pembangunan hunian bagi kalangan papa di wilayah tersebut yang dikerjakan dengan mengadaptasi teknologi setempat (indigenous) yang menjadikan lumpur (mud) sebagai material utamanya. Penggunaan teknologi indigenous ini sekaligus menunjukkan bahwa Fathi tidak latah mengikuti standar arsitektural Barat modern yang menjadikan baja dan semen sebagai bahan utamanya.
Pilihan Fathi tersebut terbilang rasional sebab jika ia mengikuti standar arsitektural Barat modern maka berimplikasi pada membengkaknya biaya pembangunan karena material tersebut terbilang mahal. Namun dengan mendayagunakan material “lokal” berupa lumpur (mud) yang dengan mudah ditemukan di wilayah tersebut, maka selain biaya pembangunan dapat ditekan seminimal mungkin -satu solusi yang ideal bagi Mesir yang saat itu baru membangun ekonominya pascakolonial-, warga setempat akan lebih mudah memperbaiki hunian mereka misalnya jika terjadi kerusakan. Alasannya karena mereka sudah familier dengan teknologi indigenous tersebut.
Tidak mengherankan melalui pendekatannya yang “unik” tersebut membuat Fathi dikenal secara internasional sebagai arsitek yang memiliki konsep architecture for the poor (arsitektur yang ramah terhadap kaum papa). Penyematan label tersebut tidak berlebihan mengingat selama proses pembangunan Gurnah Baru, Fathi menggunakan pendekatan kolaboratif yakni melibatkan para warga lokal, termasuk memberi ruang untuk menyerap imaji warga tentang hunian yang mereka dambakan. Dengan kata lain sebagai arsitek, Fathi tidak berpretensi menjadi sosok yang “sok tahu” tetapi justru mampu menjadi “kawan” bagi kaum papa.
Di mata Gus Dur, sosok Fathi mampu merawat warisan arsitektur Mesir klasik (Gurnah) dengan cara mengkontekstualisasikan warisan arsitektural tersebut untuk menjawab problem Negara Mesir pascakolonial. Problem yang dimaksud meliputi ledakan penduduk di satu sisi dan juga kemiskinan yang cukup akut. Melalui architecture for the poor itulah maka kebutuhan yang meningkat akan hunian yang murah dan juga nyaman ditinggali dapat diurai sedemikian rupa.
Dari kasus Fathi dengan Proyek Gurnah Barunya tersebut menunjukkan bahwa di mata Gus Dur arsitektur Islam mesti dibenahi dari sisi paradigmatiknya. Dalam konteks ini, perubahan paradigma arsitektur Islam dari “teosentrik” menjadi “antroposentrik” adalah niscaya untuk memastikan bahwa arsitektur mampu berpihak pada kalangan yang termarginalkan. Bagi Gus Dur, arsitektur Islam tidak boleh terpisah dari problem-problem sosial yang eksis. Ia mesti menjadi kekuatan transformatif dengan jangkar nilai humanisme, yakni keadilan dan juga egalitarianisme -dan bukan elitisme-.
Idealisme Gus Dur bahwa arsitektur Islam mestinya menjadi kekuatan transformatif inilah yang sekiranya membuat ia melakukan kritik tajam terhadap proyek Masjid Istiqlal. Di mata Gus Dur, pembangunan Istiqlal merupakan cerminan dari masih kuatnya paradigma “teosentrisme” berikut ciri khasnya berupa bentuk bangunan yang dirancang megah. Terkait dengan kasus Istiqlal, nuansa kemegahan itu misalnya tercermin dari tagline bahwa Masjid istiqlal adalah masjid terbesar di Asia Tenggara. Meskipun Istiqlal berhasil mengukuhkan simbol kemegahan peradaban Islam di Indonesia, bagi Gus Dur simbolisme tersebut tidak berarti banyak karena di balik simbolisme tersebut tersembunyi problem akut kebodohan dan kemiskinan yang tidak tertanggulangi. Dengan kata lain tanpa fungsi transformatif maka kemegahan sebuah karya arsitektur di mata Gus Dur kehilangan relevansinya.
Bagi Gus Dur, arsitektur Islam mestilah memainkan perannya dalam transformasi peradaban. Visi emansipatoris dari arsitektur Islam diharapkan akan mengubah kondisi “status quo” di mana peradaban global hari ini ditandai dengan kekuasaan para pemilik modal dan elit politik “serakah” yang menari di atas penderitaan kebanyakan manusia menjadi peradaban yang memanusiakan manusia. Visi emansipatoris dari arsitektur Islam yang diimajinasikan ini dapat dikatakan begitu menjanjikan. Namun ada satu pertanyaan penting yang patut dimunculkan terkait dengan posisi Gus Dur, yakni apakah paradigma “antroposentrisme” yang ditawarkan Gus Dur benar-benar mampu menyediakan landasan emansipatoris bagi transformasi peradaban?
Jika kita merujuk kepada kritik Muhammad Al-Fayyadl terhadap artikel Gus Dur tersebut -sebagaimana dinyatakannya dalam satu forum yang diselenggarakan oleh Islam Nusantara Center bertema “Ke mana Islam Nusantara Menggerakkan Peradaban?”- kita dapat memikirkan ulang tentang solusi yang ditawarkan Gus Dur tersebut. Menurut Al-Fayyadl paradigma antroposentrisme memang memiliki dimensi emansipatoris karena ia menjadikan manusia sebagai pusat pembicaraan. Akan tetapi bagi Al-Fayyadl perkembangan mutakhir dalam diskursus ilmu sosial termasuk juga realitas peradaban kontemporer menunjukkan bahwa ada kelemahan krusial dari paradigma antroposentrisme tersebut, yakni ia tidak ramah terhadap kelestarian alam.
Al-Fayyadl menggarisbawahi bahwa di balik klaim peningkatan harkat dan martabat manusia, paradigma antroposentrisme potensial mereduksi entitas lain di luar manusia -dalam hal ini alam sekitar- sebagai “obyek” pemuas nafsu berkuasa manusia belaka. Akibat dari cara pandang semacam ini melahirkan berbagai bentuk kerusakan lingkungan yang parah di muka bumi. Ironisnya, kerusakan lingkungan tersebut juga pada akhirnya mengancam kehidupan manusia itu sendiri. Dengan kata lain paradigma antroposentrisme menjadi semacam “resep” bunuh diri peradaban manusia secara global.
Dari kritik Al-Fayyadl tersebut kita disadarkan bahwa dimensi kemanusiaan yang mestinya eksis dalam arsitektur Islam menjadi problematik untuk ditegakkan dengan mengandalkan paradigma antroposentrisme yang mengandung dimensi “bunuh diri” peradaban tersebut. Pertanyaan lanjutannya ialah paradigma alternatif apakah yang tidak bercorak antroposentrisme tetapi tetap mengafirmasi dimensi kemanusiaan yang kuat di dalamnya? Al-Fayyadl sendiri berargumen tentang perlunya membangun satu paradigma non-antroposentrisme yang mana di dalamnya dimensi humanisme (kemanusiaan) tetap bisa diafirmasi, namun dimensi ekologis juga tidak dianggap lalu.
Tulisan ini berargumen bahwa salah satu bentuk/alternatif dari paradigma antroposentrisme yang tetap menjunjung tinggi harkat dan martabat kemanusiaan ialah paradigma arsitektur profetik. Alasannya karena paradigma arsitektur profetik memadukan tidak hanya dimensi humanisme, ekologi, tetapi juga spiritualisme. Dengan kata lain paradigma “lama” teosentrisme yang dianggap Gus Dur perlu diganti dengan paradigma “baru” antroposentrisme dapat didamaikan melalui kerangka “baru” paradigma profetik tersebut.
Tawaran arsitektur profetik sendiri dicetuskan oleh seorang arsitek muda Indonesia bernama Andhika Saputra yang juga merupakan pengajar di Universitas Muhammadiyah Surakarta. Meskipun Saputra tidak berumur panjang, namun ia telah menginisiasi satu ide orisinil yang sekiranya paralel dengan posisi Gus Dur yang menghendaki perubahan “radikal” dalam memaknai arsitektur Islam melalui proyek perubahan paradigma. Tawaran arsitektur profetik ini relatif terdokumentasikan dengan baik lewat aneka tulisan lepasnya, buku-buku, maupun rekaman ceramahnya dalam berbagai event terkait selama karier intelektual Saputra.
Sebagaimana Gus Dur, sebelum merumuskan ide arsitektur profetik, Saputra berupaya melakukan kajian kritis terhadap berbagai paradigma arsitektur Islam yang eksis. Ia merasa bahwa dimensi humanisme kerap kali tidak mendapatkan pembahasan yang memadahi dalam paradigma arsitektur Islam “mainstream”. Menurutnya, ada kecenderungan dari sejumlah paradigma berasitektur untuk menekankan pada dimensi “spiritual” semata namun kurang menggarap dimensi “material” yang bagi Saputra sejatinya sama-sama penting. Berbasis pada pergulatan intelektual tersebut ia menawarkan proposalnya sendiri yang ia beri nama sebagai arsitektur profetik.
Istilah arsitektur profetik sendiri tidak dapat dilepaskan dari pengaruh pemikiran Kuntowijoyo terhadap diri Saputra. Meskipun Saputra tidak pernah berjumpa langsung dengan Kuntowijoyo, dapat dikatakan ia merupakan pengkaji intens pemikiran Kuntowijoyo (di mana ia berhasil mengkonstruksi Kunto sebagai pemikir sistem) dan juga sekaligus murid dari Heddy Sri Ahimsa. Ahimsa sendiri merupakan rekan kerja Kuntowijoyo di mana ia juga intens untuk mengembangkan ide-ide Kuntowijoyo tersebut. Bedanya adalah Ahimsa berupaya menyempurnakan gagasan monumental Kuntowijoyo (ilmu sosial profetik) dari sisi paradigmatiknya, sementara Saputra berupaya untuk mengaplikasikan kerangka profetik Kuntowijoyo dalam disiplin ilmu yang lebih spesifik, yakni ilmu arsitektur. Menariknya, Saputra mengakui bahwa sosok Ahimsa itulah yang mendorongnya untuk mengembangkan pemikiran Kuntowijoyo dalam disiplin yang ditekuninya tersebut.
Dikarenakan ide arsitektur profetik merupakan kontekstualisasi atau bahkan ekstensi dari ide orisinil Kuntowijoyo, maka dalam mengkonstruksi ide arsitektur profetik, Saputra mesti memulainya dengan menjelaskan mengenai gagasan ilmu sosial profetik Kuntowijoyo, termasuk bagaimana ide tersebut relevan bagi diskusi mengenai arsitektur Islam. Menurut Saputra -sebagaimana disampaikan dalam kelas daring Ragam Pendekatan Arsitektur Islam yang mengangkat tema “Arsitektur Islam Pendekatan Profetik” (2020)-, kehadiran ilmu sosial profetik tidak dapat dilepaskan dari pembacaan Kuntowijoyo akan laju industrialisasi yang menurutnya menyimpan masalah akut bagi kemanusiaan.
Bagi Kuntowijoyo, industrialisasi menyebabkan krisis kemanusiaan dan krisis sosial. Krisis kemanusiaan lahir akibat mekanisasi kerja yang menyebabkan keterputusan manusia dari dimensi spiritualnya (manusia sebagai bagian dari mesin, manusia sebagai obyek bukan lagi subyek sebagaimana dipahami dalam metafisika Islam). Sementara krisis sosial terjadi akibat era industrialisasi yang mengubah orientasi hidup manusia menjadi sepenuhnya ekonomistik. Dikarenakan ekonomi yang menjadi patokan maka hal ini berimplikasi pada relasi antarmanusia yang hanya diukur dari dimensi ekonomi belaka, yang pada gilirannya semakin mempertebal kelas-kelas sosial yang ada dan juga berimplikasi pada marginalisasi kalangan yang masuk dalam kelas sosial rendah.
Dengan kata lain di mata Kuntowijoyo industrialisasi membuka jalan bagi dehumanisasi manusia. Saputra menambahkan poin ketiga dari industrialisasi yang menurutnya tidak banyak dieksplorasi Kuntowijoyo, yakni krisis lingkungan. Krisis ini terjadi karena proses mekanisasi kerja tidak hanya menyasar pada manusia (sebagai tenaga kerja) tetapi juga alam yang diposisikan semata sebagai bahan mentah. Dengan dukungan teknologi yang semakin canggih maka eksploitasi alam juga semakin masif dan destruktif sehingga pada akhirnya keseimbangan alam terganggu. Dengan kata lain industrialisasi tidak hanya menimbulkan problem obyektivikasi manusia tetapi juga obyektivikasi alam di mana hasil dari obyektivikasi ini adalah alienasi manusia dan juga kerusakan alam/lingkungan yang akut.
Dalam kesimpulannya, Kuntowijoyo -menurut Saputra- merasa bahwa laju industrialisasi adalah laju tak “tidak terelakkan.” Dalam arti bahwa tampaknya mustahil untuk mengembalikan bandul jam peradaban ke era pra-industrial. Maka yang bisa ditempuh bagi Kuntowijoyo adalah menggumuli laju industrialisasi tersebut dan menavigasinya sehingga berbagai krisis yang menjadi “anak kandung” peradaban industrial tersebut dapat diminimalisir. Bagi Kuntowijoyo solusinya terletak pada perubahan fondasi/paradigma. Diperlukan satu paradigma baru yang mampu mentransformasi peradaban industrial saat ini menjadi ramah terhadap manusia, alam, dan juga spiritualitas. Dalam konteks inilah Kuntowijoyo menawarkan alternatifnya, yakni paradigma profetik.
Paradigma profetik, menurut Saputra, diformulasikan Kuntowijoyo sebagai hasil pergumulannya dengan pemikiran Roger Garaudy, seorang intelektual Muslim Prancis yang juga dikenal kritis terhadap peradaban industrial Barat. Bagi Garaudy akar masalah dari peradaban industrial terletak pada dua konsep kunci, yakni positivisme dan individualisme -yang merupakan perwujudan dari spirit kapitalisme-. Positivisme inilah yang melahirkan obyektivikasi manusia dan alam akibat penghapusan dimensi sakral dari realitas, sedangkan individualisme melahirkan kesenjangan sosial yang tak terjembatani.
Melawan dua konsep kunci tersebut, Garaudy menawarkan dua konsep kunci tandingan yang ia abstraksikan dari pembacaannya terhadap tradisi intelektual Islam, yakni konsep transendensi dan ummah. Konsep transendensi diharapkan mampu mengembalikan dimensi sakral dalam kehidupan, sementara konsep ummah dipakai untuk mengikis individualisme dan digantikan dengan satu kolektivisme yang sehat (bukan sekedar kerumunan). Konsep kunci inilah yang dipinjam oleh Kuntowijoyo untuk merumuskan paradigma profetik yang didasarkan pada tiga kata kunci etis, yakni humanisasi (memanusiakan manusia dari proses anonimitas, obyektivikasi, dan otomatisasi), liberasi (pembebasan dari sistem pengetahuan, ekonomi, sosial, politik yang mengalienasi kehidupan manusia), dan transendensi (sakralisasi kehidupan).
Sebagai catatan, meskipun dalam tiga pilar etika profetik tersebut aspek ekologis tidak terlalu terlihat, namun jika kita baca secara lebih kritis sejatinya aspek ekologis inheren dalam tiga pilar tersebut. Transendensi misalnya, akan mengembalikan dimensi sakral dari alam sehingga manusia tidak lagi melihatnya sekedar sebagai bahan mentah industrialisasi belaka. Begitu juga pilar humanisasi dan liberasi yang meniscayakan pelampauan terhadap sistem ekonomi, sosial, politik, dan pengetahuan yang alienatif. Sementara kita saksikan bersama bahwa problem lingkungan telah sampai pada titik di mana manusia telah mengalami dampaknya. Sebut saja masalah perubahan iklim, kebakaran hutan, polusi sampah, hingga kelangkaan air. Sehingga perubahan aneka sistem ekonomi, sosial, politik, dan pengetahuan menjadi lebih “hijau” adalah keniscayaan.
Dari perumusan etika profetik oleh Kuntowijoyo itulah Saputra kemudian merumuskan cita-cita profetik secara lebih praksis. Karena rumusan ini bersifat praksis maka Saputra juga mengintegrasikan aplikasi cita-cita profetik tersebut dalam disiplin arsitektur. Dapat dikatakan elaborasi Saputra atas cita-cita profetik inilah kita bisa menemukan “cetak biru” dari arsitektur profetik yang ia kemukakan. Saputra menyatakan bahwa cita-cita profetik mencakup strategi, metode, sasaran, tujuan, dan potensi. Sekali lagi ketika berbicara cita-cita profetik ini telah ia integrasikan dengan idenya tentang arsitektur profetik, sehingga kasus yang ia pakai adalah kasus pada disiplin arsitektur dan bukan disiplin ilmu sosial lainnya.
Dalam tahap strategi, menurut Saputra profetik mencita-citakan sistem etikanya menggantikan sistem etika industrial saat ini yang berporos pada ide positivisme dan individualisme. Maka strategi yang mesti ditempuh adalah strategi emansipatoris dan bukan sekedar deskriptif atau mendukung status quo misalnya. Strategi emansipatoris inilah yang dikongkritkan di level metode dengan cara mengembangkan penelitian arsitektural -atau penelitian ilmu sosial lain secara umum- berbasis metode partisipatoris/komunitarian. Dengan kata lain seorang arsitek tidak boleh menjadi intelektual menara gading, tetapi justru harus berbaur dengan masyarakat untuk mengetahui problematika industrial yang menimpa mereka secara lebih detail.
Lebih jauh, Saputra menyebut bahwa dalam level metode ini Kuntowijoyo juga menawarkan pendekatan obyektivikasi. Dengan kata lain arsitek atau ilmuwan sosial Muslim mesti bekerja sama dengan kalangan ilmuwan sosial atau arsitek dari latar belakang agama -bahkan juga yang tidak beragama- demi menjalin satu aliansi peradaban. Kuntowijoyo memahami bahwa problem peradaban industrial terlalu besar jika diurai oleh satu kelompok saja.
Karena problem tersebut juga menimpa semua kalangan dari berbagai agama yang berbeda -termasuk yang tidak beragama- maka dibutuhkan kerja sama lintas agama dan lintas peradaban berbasis pada satu visi yang sama, yakni menegakkan etika profetik tersebut. Sebagai konsekuensi dari kerja sama lintas agama dan lintas peradaban tersebut maka intelektual dan arsitek Muslim dituntut untuk mampu mengkomunikasikan sistem etika profetik tersebut kepada kalangan intelektual dan arsitek secara luas.
Saputra melanjutkan bahwa setelah mengidentifikasi strategi dan metode, maka yang juga krusial adalah mengidentifikasi sasaran yang akan dikenakan perubahan. Sasaran dari cita-cita profetik menurut Saputra adalah masyarakat teknologis dan ekonomis, di mana dengan adanya dominasi logika teknologisme dan juga ekonomisme (kapitalisme) maka masyarakat mengalami berbagai alienasi dalam hidupnya. Ia menjadi bergantung pada teknologi misalnya, atau orientasi hidupnya sekedar kerja (produksi/work) dan senang-senang (konsumsi/leisure).
Dalam kaitannya dengan masyarakat teknologi, Saputra mencontohkan bahwa misal terjadi ketergantungan masyarakat pada teknologi penghawaan buatan tanpa menimbang bahwa ketergantungan itu justru tidak ramah iklim karena misal boros energi. Contoh lain misalnya ketergantungan peradaban industrial hari ini pada plastik yang meskipun murah tetapi ternyata dalam dampak panjang merusak alam. Sementara dalam kaitannya dengan masyarakat ekonomi, Saputra mencontohkan bahwa saat ini arsitektur menjadi penanda dari strata sosial. Maka semakin seorang berpunya secara ekonomi akan ditunjukkan dengan rancangan arsitektur yang semakin megah sebagai identitasnya. Sebagai implikasinya arsitektur menjadi semacam penanda kelas sosial, di mana kesenjangan antara kaum berpunya dan tidak dari segi arsitekturnya begitu mencolok dan justru mempertebal dinding pemisah antara berbagai kalangan di masyarakat tersebut.
Setelah menemukenali sasaran, yakni masyarakat teknologis dan ekonomis, maka yang perlu diidentifikasi adalah tujuan, yakni mewujudkan masyarakat yang adil dan egaliter selain juga ditandai dengan spiritualitasasi kebudayaan manusia sebagaimana diimajinasikan dalam sistem etika profetik. Terakhir, Saputra membicarakan tentang potensi transformasi. Bagi Saputra cita-cita profetik ini bukan sekedar “mimpi” atau “utopia” belaka tetapi dapat diaktualisasikan secara nyata.
Dalam kaitannya dengan potensi transformasi, Saputra menitikberatkan pada potensi umat Islam -yang bisa dikontekstualkan untuk umat lainnya- yakni ketersediaan sumber daya manusia yang besar (kapital sosial) sebagaimana tercermin dari berbagai ormas Islam yang ada. Sebut saja Muhammadiyah dan NU misalnya yang disebut-sebut memiliki anggota hingga puluhan juta. Jika potensi ini dapat didayagunakan dengan baik tentunya upaya transformasi peradaban bukan suatu yang bersifat “utopis” belaka.
Potensi sumber daya semata (kapital sosial) tidak cukup jika tidak ditopang oleh intelektualisme yang memadahi untuk mengurai berbagai problematika yang hadir di masyarakat sebagai dampak dari peradaban industrial tersebut (kapital budaya). Menurut Saputra, potensi ini hadir dalam wujud institusi pendidikan tinggi Islam. Muhammadiyah misalnya memiliki banyak perguruan tinggi swasta di bawah naungannya. Potensi inilah yang dapat didayagunakan untuk mengurai problem-problem industrial berbasis pada kerja sama lintas disiplin ilmu dari para intelektual Muslim tersebut.
Sedangkan potensi terakhir yang juga krusial ialah baitul mal (kapital ekonomi) di mana tanpa kekuatan finansial yang memadahi maka proses transformasi juga sulit untuk dimaksimalkan. Sebagai contoh dalam kasus proyek Gurnah Baru Fathi, meskipun “murah” tetapi tetap saja membutuhkan dukungan finansial yang tidak sedikit. Bagi Saputra dalam kaitannya dengan potensi umat Islam, baitul mal ini sudah dimiliki oleh umat (misal yang dikelola oleh ormas Islam besar semacam NU dan Muhammadiyah) dan mestinya dioptimalkan fungsinya untuk menyokong kegiatan peradaban.
Setelah memaparkan cita-cita profetik -yang meskipun berdimensi praksis yang tinggi namun sifatnya masih strategi general- maka Saputra menukik lebih dalam dengan menawarkan model arsitektur alternatif yang menurutnya mewakili tradisi profetik yang tidak hanya mengafirmasi dimensi “Kemanusiaan” tetapi juga “Ketuhanan” dan “Kosmik” sekaligus. Menurut Saputra, model ideal dari arsitektur profetik mengacu kepada Kota Madinah di zaman Nabi Muhammad. Sebagai informasi, ketika Madinah ditempatkan sebagai model arsitektur profetik maka yang dimaksud oleh Saputra adalah Madinah sebagai sistem spasial dan bukan mengacu pada bentuk spesifik dari arsitektur kota Madinah pada zaman itu.
Menurut Saputra, sistem spasial Madinah berubah sejak kedatangan Nabi Muhammad ke wilayah tersebut. Ketika Nabi Muhammad pertama kali menginjakkan kaki ke Madinah maka yang beliau lakukan ialah menyatukan kaum Ansor (penduduk Madinah) dan Muhajirin (penduduk Makkah yang hijrah bersama Nabi) salah satunya dengan berbagi hunian kepada saudaranya Muhajirin yang tidak lagi memiliki tempat tinggal. Bagi Saputra, momen historis tersebut menjadi krusial dari kacamata arsitektur profetik karena ketersediaan hunian menjadi satu dimensi yang krusial dalam sistem spasial (arsitektur) profetik. Tanpa adanya ruang hunian maka perkembangan individu dapat terganggu karena pada ruang hunian itulah pertama kali seorang individu menjalani kehidupannya dan juga membentuk kepribadiannya.
Maka arsitektur profetik mestilah memastikan terciptanya satu sistem spasial di mana setiap manusia memiliki akses terhadap hunian yang layak. Karena tanpanya maka ia tidak akan dapat mengembangkan dirinya secara optimal, begitu pula dengan anak-anaknya kelak. Sebagai catatan, akses kepada hunian yang layak ini sifatnya universal dan tidak hanya terbatas pada umat Islam saja, misalnya karena arsitektur profetik meyakini bahwa semua manusia adalah ciptaan Tuhan yang mulia sehingga ia tidak boleh direndahkan. Ketersediaan ruang hunian yang layak adalah cerminan dari kemanusiaan itu sendiri. Maka jika masih banyak penduduk yang tidak memiliki hunian layak itu adalah pekerjaan rumah yang mesti diselesaikan oleh para pegiat arsitektur profetik. Terkait caranya, tentu mesti ditempatkan secara kontekstual. Model Gurnah Baru misalnya bisa jadi inspirasi tetapi tidak memungkinkan alternatif lain karena solusi Gurnah Baru didesain secara khusus pada konteks masyarakat Mesir misalnya.
Saputra melanjutkan bahwa setelah menyatukan kalangan Muhajirin dan Ansor maka Nabi Muhammad mendirikan Masjid yang ditafsirkan oleh Saputra sebagai cermin dari sistem spasial profetik yang khas, di mana dimensi spiritual diafirmasi di dalamnya. Keberadaan masjid (tempat ibadah) misalnya menjadi krusial untuk mencegah desakralisasi realitas termasuk desakralisasi manusia itu sendiri yang lambat laun diposisikan sebagai obyek belaka dalam masyarakat industrial. Melalui sistem spasial yang mengafirmasi dimensi spiritual ini maka manusia memiliki peluang untuk terus menyadari posisi eksistensialnya bahwa dirinya bukan sekedar obyek, tetapi sebagai subyek yang memiliki esensi spiritualitas di dalamnya sehingga tidak layak untuk direndahkan. Esensi spiritual inilah yang juga mencegah penguatan ego antroposentrisme karena manusia didorong untuk melihat relasi eksistensialnya secara lebih luas baik dengan Tuhan ataupun dengan alam.
Terakhir, Saputra melihat bahwa setelah membangun masjid maka kemudian Nabi Muhammad membangun pasar. Artinya pasar juga menempati posisi yang krusial dalam sistem spasial profetik. Namun perlu ditegaskan bahwa makna pasar tidak bisa direduksi sekedar sebagai tempat jual-beli dilaksanakan. Bagi Saputra itu adalah pemaknaan secara sempit. Bagi Saputra pasar adalah cermin dari dimensi muamalah dalam kehidupan manusia. Artinya pasar adalah ruang-ruang peradaban dalam arti luas. Perlu ditambahkan dengan menafsirkan pasar sebagai ruang muamalah, maka ruang-ruang ini akan terhindarkan untuk dikuasai oleh logika ekonomisme belaka, tetapi juga meniscayakan logika yang lain seperti logika komunikasi sebagaimana diwacanakan oleh Habermas misalnya.
Tidak mengherankan Saputra menggarisbawahi bahwa dari pasar itulah kebudayaan tinggi juga dapat berkembang. Sebagai contoh, Saputra menyebut bahwa di bazar (pasar) pada masa peradaban Islam klasik ternyata tidak sekedar menjadi tempat jual-beli tetapi menjadi pusat kegiatan keilmuan juga. Di berbagai toko buku yang eksis pada masa itu misalnya tidak hanya ditemukan aktivitas jual beli buku tetapi juga menjadi ruang dialog untuk membahas perkara-perkara keilmuan yang penting. Maka tidak salah Saputra menyebut pasar “profetik” ini juga memiliki karakteristik sebagai ruang transformasi sosial-kultural masyarakat.
Sebagai penutup, baik Gus Dur dan Andhika Saputra telah mewariskan kepada kita satu diskursus akademik yang penting, yakni mengenai paradigma arsitektur Islam. Tentu masih banyak hal yang dapat digali baik dari ide Gus Dur dan Saputra, misal elaborasi mengenai sistem spasial profetik yang ekologis di mana dalam “proposal orisinil” Saputra tidak mendapat pembahasan yang memadahi. Namun lepas dari keterbatasan tersebut kita mesti menangkap pesan penting di balik diskursus tentang arsitektur Islam tersebut, di mana baik Gus Dur dan Saputra sama-sama setuju bahwa arsitektur Islam tidak boleh dimaknai sempit sebagai sekedar diskusi mengenai bentuk (form) atau dimaknai sebagai suatu yang sifatnya “spiritualitas” belaka -itu pun dalam arti sempit-.
Keduanya juga sepakat bahwa arsitektur Islam mesti menjadi tulang punggung peradaban baru yang didasarkan pada penghargaan pada harkat dan martabat manusia atau dalam bahasa Saputra peradaban yang didasari oleh spirit humanisasi, liberasi, dan transendensi. Spirit keilmuan profetik itulah yang mesti terus dirawat baik oleh akademisi/arsitek yang secara khusus berkecimpung di bidang arsitektur Islam ataupun akademisi ilmu sosial secara umum.