Beberapa bulan yang lalu, Paus Fransiskus berkunjung ke Indonesia. Sosok yang membuatku berdecak kagum. Meski beliau adalah orang yang paling dihormati oleh umat Katolik, namun kesederhanaannya sangat nampak Terlebih dengan pernyataannya tentang Pertobatan Ekologis.
Muhaimin Iskandar atau Cak Imin pernah mengutip hal tersebut. Pertobatan Ekologis yang dimaksudkan adalah manusia wajib memikirkan masa depannya yang sangat rawan. Perlunya etika lingkungan pada aspek pembangunan sangat kita perlukan di Indonesia. Jika dikaitkan dengan kondisi saat ini Paus Fransiskus menjadi sosok pemuka agama yang memiliki pemikiran mendalam tentang keberlangsungan kehidupan manusia di bumi.
Sebagai tugas di bumi, manusia harus menjadi khalifah yang baik. Sebagaimana Allah SWT menciptakan manusia berbeda satu dengan yang lainnya untuk saling mengenal, begitupun dengan alam diciptakan untuk saling menjaga dengan manusia. Dalam hal ini, masih saja banyak manusia yang kurang sadar akan posisinya itu.
Aku membayangkan di tengah krisis lingkungan saat ini, perlu adanya sosok panutan di tengah masyarakat yang perlu menyuarakannya. Seperti sosok sang paus. Dalam umat Islam sendiri memiliki berbagai panutan yang bisa meluruskan perilaku dan juga sikap terhadap lingkungan. Terutama para pendakwah. Sampai dengan saat ini, sejak aku mulai melaksanakan shalat jumat berjamaah di masjid, tidak pernah kudengarkan penceramah mengangkat tema kesadaran ekologi. Padahal, sudah nampak sangat nyata yang kita rasakan saat ini dampak dari krisis iklim yaitu pemanasan global (global warming).
Peran pendakwah, penyuluh agama, ustaz, dan kiai di tengah masyarakat kadang kala kita batasi sebagai tukang baca doa, penceramah di takziah atau hal yang terbatas pada ceramah hubungan manusia dengan Tuhan (habluminallah), khususnya di daerah saya tinggal di Kota Gorontalo. Para pendakwah sudah seharusnya memulai dakwah ekologi di tengah masyarakat, sebab dampak bencana seperti banjir, longsor, dan lainnya merupakan serentetan kasus krisis iklim yang disebab oleh manusia.
Seperti aktivitas membuang sampah di pinggiran sungai, atau di selokan depan rumah. Kedua kelakuan kita ini yang menjadi sebab terjadinya banjir, selain dari pengaruh alam itu sendiri. Selain itu, perilaku ekstraktif sumber daya alam seperti penambangan yang membuat harus menebang pohon, kemudian menggerus daya serapnya terhadap air dalam tanah yang menyebabkan longsor, dan menelan korban jiwa. Sehingga dampak negatif dari krisis iklim ini sudah sejak dulu kita alami dan rasakan, namun kurang diperhatikan, terutama bagi kalangan pendakwah.
Pentingnya Peran Pendakwah
Pada buku yang berjudul Panduan Menuju Pesantren Hijau dari Pesantren Merawat Bumi, yang disusun oleh Imam Malik dan M. Zidni Nafi’, tertulis bahwa isu-isu yang berkaitan dengan lingkungan dan alam dinilai sangat penting mengingat dunia industri berkembang begitu cepat, sehingga dampak-dampak yang ditimbulkan juga semakin kompleks. Virus penyakit, eksploitasi sumber daya alam, konflik sosial, bencana alam adalah sederet sisi lain dari dampak buruk industrialisasi terutama yang terjadi di negeri ini, tertulis pada buku.
Peran pendakwah dalam menyadarkan masyarakat perihal kepedulian lingkungan sangatlah penting. Seperti yang tertuang dalam penelitian yang berjudul, “Implementasi Pesan Dakwah tentang Pelestarian Lingkungan Desa Margodadi Kecamatan Way Lima Kabupaten Pesawaran” oleh Ali Baharudin, pada Tahun 2021 sebagai persyaratan skripsi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui seberapa besar pengaruh implementasi pesan dakwah terhadap pelestarian lingkungan di desa tersebut. Adapun hasil penelitian itu menunjukan terdapat perubahan perilaku masyarakat desa dalam memperlakukan lingkungan setelah diimplementasikannya pesan dakwah lingkungan, seperti tidak membuang sampah di sungai, menjaga kebersihan lingkungan sekitar, dan memulai usaha kecil. Penelitian ini dilakukan terhadap masyarakat dewasa dan usia remaja.
Tidak sampai di situ, salah satu organisasi masyarakat (ormas) Islam seperti Nahdlatul Ulama (NU) pun juga concern pada masalah lingkungan. Seperti yang ditulis dalam buku, Fiqih Penanggulangan Sampah Plastik oleh Tim Lembaga Bahtsul Masail (LBM) PBNU, Lembaga Penanggulangan Bencana dan Perubahan Iklim (LPBI) PBNU. Dalam buku itu ditulis bahwa, terdapat hukum dalam membuang sampah sembarangan, salah satunya pada Q.S Al-A’raf ayat 56 yang menyerukan, “Janganlah kalian berbuat kerusakan di muka bumi sesudah (Allah) memperbaikinya”. Selain itu juga telah disebutkan dalam Q.S Al-Qashash ayat 77.
Berpijak dari penjelasan tersebut jelas, tertulis dalam buku bahwa, membuang sampah plastik secara sembarangan adalah haram karena dapat membahayakan pihak lain dan lingkungan. Padahal seorang Muslim sudah selayaknya untuk selalu berusaha agar tidak merugikan pihak lain.
Salah satu saran yang ditawarkan pada buku ini adalah perlunya perubahan paradigma peran masyarakat dan ormas seperti NU dalam mengelola sampah plastik. Seperti perlu adanya kajian yang membahas sampah plastik, seperti “Ngaji Plastik” di majelis-majelis atau pada khutbah jumat, bila perlu dikaitkan dengan dunia pesantren, madrasah atau sekolah.
Seperti yang disebutkan sebelumnya, dampak dari perilaku ekstraktif alam pada pertambangan juga berdampak, baik kepada lingkungan dan juga manusia. Olehnya alternatif energi terbarukan diberikan, seperti yang tertulis pada buku Fiqih Energi Terbarukan Pandangan dan Respon Islam atas Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) yang ditulis oleh Abd. Moqsith Ghazali, dkk, tahun 2017.
Dalam buku tersebut salah satunya membahas tentang bagaimana manusia perlu mensyukuri, bukannya mengeksploitasi alam. Kita seharusnya menyadari bahwa nikmat Allah begitu besar diciptakan untuk manusia, tertulis di buku. Sumber daya alam yang tersedia dengan melimpah ruah harus dapat dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya, bukan malah dieksploitasi dengan serakah. Penggalian sumber daya alam boleh dilakukan dengan tidak merusak tata lingkungan dan tata hidup manusia. Oleh karena itu, penggunaan teknologi harus ramah terhadap lingkungan dan bisa menjaga kelestariannya, sehingga alam tetap bisa dimanfaatkan secara kontinuiti atau berkesinambungan.
Adapun kesimpulan dalam buku tersebut bahwa, NU memposisikan perwujudan energi ke dalam bagian dari tujuan syari’at Islam untuk pemeliharaan atau perlindungan jiwa umat manusia; memposisikan energi ke dalam hak publik yang harus dilindungi dan dikuasai oleh negara; wajib hukumnya bagi pemerintah untuk memfasilitasi ketersediaan energi yang dibutuhkan oleh rakyatnya dengan harga yang terjangkau; dan berbagai hal lainnya. Kemudian NU juga menulis tentang saran yang diberikan kepada pemerintah dan masyarakat. Salah satunya saran kepada pemerintah, yaitu untuk memberikan edukasi dan memastikan masyarakat mampu mengelola dan memelihara sumber daya yang terbarukan seperti PLTS. Salah satunya melalui peran pendakwah dalam mengedukasi masyarakat.
Pada kesimpulannya, peran para pendakwah dalam menyadarkan masyarakat tentang perannya terhadap alam perlu dilakukan dengan lebih masif dan serius. Hal ini memerlukan dukungan dari berbagai stakeholder, terutama para pemangku kebijakan, pemerintah, dan organisasi masyarakat serta tokoh agama. Sebab, menurutku manusia bukanlah makhluk yang harus menjaga lingkungan, tapi kita adalah lingkungan itu sendiri. Tidak hanya menjaga hubungan dengan Tuhan dan sesamanya, manusia juga perlu menjaga hubungan dengan alam, sebagaimana ia menjaga salah satu bagian dari anggota tubuhnya sendiri.