Indonesia di Mata Gus Dur

Diskursus tentang relasi Islam dan negara merupakan salah satu diskursus penting dalam pemikiran keislaman sejak era formatif ilmu-ilmu keislaman. Salah seorang pemikir politik Islam klasik yang paling terkenal adalah al-Mawardi (975-1058 M). Ia hidup di tengah gejolak politik era Dinasti Abbasiyah. Karyanya yang paling terkenal adalah al-Ahkam al-Sulthaniyah (Peraturan-peraturan Kerjaan/pemerintahan).

Menurutnya, kepemimpinan negara adalah sebuah keharusan syar’i karena berfungsi melanjutkan misi kenabian (nubuwwah) dalam rangka melindungi agama dan mengatur urusan dunia. Keduanya merupan dua dimensi dari misi kenabian. Institusi pemerintahan adalah simbol tertinggi syari’ah.

Keberadaan kepala negara hukumnya wajib karena berfungsi melanjutkan misi Islam sepeninggal Nabi; melindungi masyarakat dari berbagai bahaya; mewujudkan kewajiban-kewajiban agama yang pelaksanaanya memerlukan campur tangan penguasa; mewujudkan keadilan; dan menjamin tercapainya kebahagian dunia dan akhirat.

Bisa dikatakan inilah pemikiran mainstream dari apa yang selama ini dianggap sebagai teori politik Islam. Dari cara berpikir inilah kemudian lahir sebuah kesimpulan bahwa mewujudkan negara Islam adalah kewajiban agama. Cara berpikir ini juga menghinggapi para pemikir Muslim Indonesia yang terobsesi dengan gagasan negara Islam.

Salah satu pemikir muslim Indonesia yang pernah menjadi rujukan kalangan islamis yang ingin menjadikan Indonesia sebagai negara Islam adalah Zainal Abidin Ahmad (1911-1983). Melalui bukunya yang berjudul Membangun Negara Islam (1956), dia menegaskan bahwa tidak ada pemisahan antara agama dan politik dalam Islam.

Islam mengharuskan membentuk negara Islam. Negara Islam yang dimaksud di sini adalah negara sebagaimana yang diajarkan dan dipraktikkan oleh Nabi dan para sahabatnya. Ciri-ciri negara Islam menurut Zainal Abidin adalah: 1) Kedaulatan ada di tangan rakyat yang beriman kepada Allah; 2) Agama harus diurus dan dikontrol oleh negara; 3) Terpenuhinya rasa aman; 4) Kebebasan beragama seluas-luasnya.

Dia mendasarkan pemikirannya pada Surah al-Nisa’: 58-59.

۞ إِنَّ ٱللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَن تُؤَدُّوا۟ ٱلْأَمَٰنَٰتِ إِلَىٰٓ أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُم بَيْنَ ٱلنَّاسِ أَن تَحْكُمُوا۟ بِٱلْعَدْلِ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ نِعِمَّا يَعِظُكُم بِهِۦٓ ۗ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ سَمِيعًۢا بَصِيرًا

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ أَطِيعُوا۟ ٱللَّهَ وَأَطِيعُوا۟ ٱلرَّسُولَ وَأُو۟لِى ٱلْأَمْرِ مِنكُمْ ۖ فَإِن تَنَٰزَعْتُمْ فِى شَىْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى ٱللَّهِ وَٱلرَّسُولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِٱللَّهِ وَٱلْيَوْمِ ٱلْءَاخِرِ ۚ ذَٰلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلً

Artinya: Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat. Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah dan Rasul, jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.

Berdasarkan ayat di atas, dia menyimpulkan bahwa pemerintah (ulil amri) adalah pemegang mandat rakyat yang harus menjalankan amanah sebaik mungkin. Judikatif harus adil dalam memutus suatu perkara. Rakyat memilih wakilnya yang bertugas merumuskan aturan sesuai dengan ajaran Allah dan rasul-Nya.

Menurutnya, sebuah negara bisa disebut sebagai negara Islam bisa diidentifikasi setidaknya dari beberapa hal, antara lain: 1) Muslim menjadi kelompok mayoritas dan harus terwujud di parlemen; 2) Kepala negara haruslah Muslim; 3) Ideologi negara harus sesuai dengan ajaran Islam; 4) Undang-undang sesuai dengan hukum Islam; dan 5) Konstitusi menggaransi dipraktikkannya demokrasi.

Orang bisa memperdebatkan tentang kualitas demokrasi seperti apa yang dibayangkan oleh penulis Membangun Negara Islam tersebut jika semua faktor penting dalam sistem pemerintahan sudah dikunci menjadi hak eksklusif umat Islam. Orang juga bisa memperdebatkan tentang kesetaraan warga negara. Juga, orang bisa mempertanyakan jaminan kebebasan beragama jika agama sepenuhnya dikontrol oleh negara. Tapi begitulah pemikiran kelompok yang hendak menjadikan Indonesia sebagai negara Islam. Superioritas Islam adalah harga mati.

Kebuntuan ini pada akhirnya betul-betul tampak dalam debat Sidang Konstituante 1957. Dalam buku Pancasila dan Islam: Perdebatan antar Parpol dalam Penyusunan Dasar Negara di Dewan Konstituante (2008), Hamka menyatakan bahwa Pancasila tidak memiliki akar sejarah dalam perjuangan bangsa Indonesia. Yang memiliki akar adalah Islam. Oleh karena itu, Islamlah yang harus menjadi dasar negara Indonesia.

Jika hendak dirangkum, maka hasrat islamisasi Indonesia dibangun di atas pola pikir sebagai berikut: Pancasila bukanlah kesepakatan bersama bangsa Indonesia. Karena Pancasila bukan kesepakatan, maka ideologi kebangsaan Indonesia adalah sebuah wilayah yang “kosong”.

Di tengah kekosongan ini, Islam bisa menjadi alternatif ideologi Indonesia. Mengapa Islam? Karena Islam, dalam pandangan mereka, adalah agama yang sempurna mengatur urusan dunia dan akhirat. Untuk memastikan terlaksananya kesempurnaan Islam, maka hukum negara harus sesuai dengan syariat Islam dan kepala negara haruslah seorang Muslim. Bagaimana umat agama lain? Mereka harus mengikuti aturan-aturan dalam negara Islam. Titik!

Gus Dur dan Indonesia

Untuk memahami cara pandang Gus Dur tentang Indonesia, pertama yang perlu dilihat adalah pandangannya tentang hubungan Islam dan negara. Di dalam tulisan “Islam: Punyakah Konsep Kenegaraan?” (1983), Gus Dur menjelaskan bahwa Islam tidak memiliki teori kenegaraan yang komplet dan detail yang bisa diperhadapkan dengan teori kenegaraan lain.

Islam tidak memiliki doktrin apa pun tentang negara. Apa yang dilakukan Nabi Muhammad lebih berkarakter sebagai tindakan moral daripada tindakan politik. Bahkan jika pergantian kepemimpinan adalah satu isu penting dalam sistem kenegaraan, Nabi Muhammad bahkan tidak pernah memformulasikan secara jelas mekanisme suksesi.

Di mata Gus Dur, Islam hanya pemberi warna/karakter sebuah negara, bukan dari sisi formal ajaran, tapi dari esensi. Islam berfungsi sebagai pemberi inspirasi dalam pengelolaan negara dan penformulasian hukum-hukum yang manusiawi.

Dengan mendudukkan Islam bukan sebagai alternatif, Gus Dur hendak menyatakan bahwa Islam adalah salah satu kebaikan dari banyak kebaikan yang dikandung bangsa Indonesia. Dari keragaman ini, bangsa Indonesia perlu duduk sederajat untuk menentukan kebaikan bersama. Dalam posisi sederajat ini, Islam bisa menjadi salah satu inspirasi, bukan aspirasi tunggal yang menyingkirkan kelompok lain.

Gus Dur dan Pengembangan Kebudayaan Islam

Dengan pendekatan seperti ini, jelas Gus Dur memiliki cara pandang yang berbeda dalam hal bagaimana kebudayaan Islam harus berkembang di Indonesia. Di dalam tulisannya yang berjudul “Pengembangan Kebudayaan Islam di Indonesia” (2001), dia membagi dua strategi: formalisasi dan pribumisasi.

Strategi formalisasi menekankan pada tampilan simbol-simbol Islam. Tampilnya simbol-simbol Islam menunjukkan superioritas Islam di depan kelompok lain. Dalam strategi ini, Islam didudukkan sebagai alternatif. Islam berusaha mengganti kebudayaan Indonesia yang dianggap tidak Islami. Dalam strategi formalisasi inilah kita bisa menemukan istilah-istilah Arab menggantikan berbagai istilah lokal yang selama ini sudah ada, misal, milad sebagai pengganti ulang tahun, ikhwan sebagai pengganti saudara, dan sebagainya.

Sementara, strategi pribumisasi adalah mendudukkan Islam sebagai partner dialog dengan kebudayaan lokal. Agama dan budaya tidak saling mengalahkan. Keduanya bisa saling belajar dan mengambil. Keabadian pesan Islam diungkapkan dalam kerangka dan simbol-simbol budaya lokal. Strategi pribumisasi tidak risih dengan istilah kiai, pesantren, surau, tuan guru, perlu (fardhu), dan sebagainya. Sementara dari sisi kesenian, strategi kedua ini melahirkan seni rebana, seudati, jipin, hikayat, dan sebagainya.

Tentu saja, di antara dua strategi di atas, Gus Dur menempatkan dirinya dalam kubu pribumisasi. Bahkan, Gus Dur sendirilah yang menjadi wakil par exellence dari strategi yang kedua itu.

Di tulisan yang lain, “Massa Islam dalam Kehidupan Berbangsa dan Bernegara” Gus Dur dengan sangat tegas menyatakan bahwa:

“Kesadaran berbangsa sebagai penggerak utama (prime mover) bagi cita-cita kehidupan kita sebagai sebuah bangsa adalah sesuatu yang harus diterima sebagai fakta objektif yang tuntas. Islam tidak boleh mendaku dirinya sebagai pemberi warna tunggal atau pengganti alternatif, tapi ajaran Islam seharusnya menjadi faktor komplementer bagi komponen-komponen lain, bukan faktor tandingan yang berfungsi disintegratif.”

Sampai di sini, jelas sekali perbedaan Gus Dur dengan kelompok formalis yang obsesif dengan negara Islam. Bagi Gus Dur, keberadaan kita sebagai sebuah bangsa dengan seluruh keragamannya adalah kenyataan objektif. Pancasila bukanlah sesuatu yang tiba-tiba ada seakan bangsa kita mengalami halusinasi masal. Pancasila lahir dari kenyataan objektif bahwa kita merasa sebagai sebuah bangsa yang terikat oleh kesatuan nilai, sejarah, dan cita-cita.

Dalam konteks ini, maka Islam tidak seharusnya meletakkan dirinya sebagai kekuatan superior yang hendak menghapus keragaman bangsa. Jika Islam meletakkan dirinya seperti itu, maka Islam akan menjadi kekuatan disintegratif. Islam bisa menjadi menjadi inspirasi, bukan aspirasi; Islam adalah faktor komplementer, bukan alternatif yang menyingkirkan kelompok lain.

Sumber: arrahim.id

Dewan Pakar Jaringan GUSDURian. Direktur Pendidikan Tinggi Keagamaan Islam pada Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kemenag RI.